Kamis 09 Feb 2023 02:01 WIB

Pengacara Bantah Bangun Narasi Kontraproduktif di Kasus Helikopter AW-101

Kuasa hukum terdakwa dan KPK saling tuding soal sidang korupsi pengadaan heli AW-101.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Erik Purnama Putra
Kasus korupsi pengadaan helikopter AW-101 untuk TNI AU.
Foto: infografis republika
Kasus korupsi pengadaan helikopter AW-101 untuk TNI AU.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kubu terdakwa Irfan Kurnia Saleh alias John Irfan Kenway membantah tudingan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) soal pihaknya membangun narasi kontraproduktif dalam kasus persidangan korupsi Helikopter AW-101. Kuasa hukum Jhon Irfan Kenway, Pahrozi menegaskan, tim kuasa hukum berhak menyampaikan argumentasi dalam pembacaan pleidoi.

Karena itu, ia membantah dianggap melakukan pembelaan secara serampangan. "Pernyataan tersebut secara jelas menunjukkan ‘sesat pikir’, sebab jelas-jelas diatur dalam ketentuan hukum bahwa pembelaan secara yuridis terdakwa itu adalah hak terdakwa atau penasihat hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 182 ayat (1) KUHAP," kata Pahrozi dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (8/2/2023).

Pahrozi menyatakan, pembelaan secara yuridis bukan diberikan oleh KPK. Ia menegaskan pembelaan sudah menjadi hak melekat pada diri terdakwa. "Hak membela diri itu lahir karena hukum, bukan diberikan KPK seperti yang disebutkan," ujarnya.

Baca: Kuasa Hukum Tuding KPK dan Jenderal Gatot Terima 'Pesanan' Kasus Heli AW-101

Pahrozi menilai, pernyataan KPK justru menimbulkan kesan KPK sendiri yang serampangan sekaligus membuat pernyataan yang kontraproduktif. Dia menyebut jaksa KPK sebenarnya berhak mengajukan replik atas pledoi.

Apalagi, lanjut Pahrozi, majelis hakim telah mempersilakan kepada jaksa KPK pada Rabu (8/2/2023) apabila ingin mengajukan replik atas pledoi terdakwa.  "Faktanya JPU KPK menyatakan tidak ingin replik dan tetap pada tuntutan sebelumnya. Alangkah eloknya jika KPK juga menanggapi setidaknya terhadap tiga hal yuridis yang kami sampaikan pada pledoi," ujar Pahrozi.

Selain itu, Pahrozi kembali mengulas poin pleidoi kliennya. Ia membantah kliennya disebut mengendalikan Unit Layanan Pengadaan (ULP) hingga bisa memenangkan tender proyek pengadaan Heli AW-101. Hal itu sesuai Perpres Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Aturan itu menjelaskan ULP adalah unit organisasi pemerintah yang diangkat oleh pejabat berwenang. "Bagaimana mungkin terdakwa selaku pihak swasta memiliki kewenangan dalam memilih dan menetapkan pihak penyedia barang ‘in casu’ Helikopter AW-101," ucap Pahrozi.

Berikutnya, Pahrozi, menyinggung ketiadaan kewenangan bagi pegawai KPK untuk menghitung sendiri kerugian negara dalam kasus Heli AW-101. Menurutnya, hal ini melanggar UUbNo 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), melanggar Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No 4 Tahun 2016 dan UU Tipikor.

"Lalu, terhadap uang negara sebesar Rp 139,43 miliar pada rekening bersama penyedia barang dan TNI AU yang saat ini berjumlah kurang lebih Rp 153 miliar, terbukti di persidangan telah disita oleh KPK. Padahal jelas-jelas TNI AU telah menyurati KPK, menyatakan uang tersebut merupakan uang negara," ujar Pahrozi.

Sebelumnya, Juru Bicara KPK, Ali Fikri membantah tudingan kuasa hukum Irfan terkait menerima pesanan dalam mengusut perkara pengadaan helikopter AW-101 untuk TNI AU. Lembaga antirasuah tersebut memastikan bahwa penanganan kasus itu dilakukan sesuai aturan hukum yang berlaku.

"Kami memberikan kesempatan yang sama pada terdakwa dan penasihat hukumnya untuk melakukan pembelaan secara yuridis, namun bukan dengan cara serampangan membangun narasi kontra produktif dengan penegakan hukum itu sendiri," ujar Ali.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement