Rabu 08 Feb 2023 20:06 WIB

Pemerintah Didesak Matangkan Regulasi Lawan Hoaks di Platform Global

Platform global diminta mendukung kode etik jurnalistik untuk berita yang ditampilan.

Rep: Zainur Mahsir Ramadhan/ Red: Mansyur Faqih
Banyaknya distribusi berita hoaks di berbagai platform global di internet menjadi sorotan banyak pihak.
Foto: Indianatimes
Banyaknya distribusi berita hoaks di berbagai platform global di internet menjadi sorotan banyak pihak.

REPUBLIKA.CO.ID, MEDAN -- Ketua Dewan Penasihat Forum Pemred Kemal Effendi Gani menyoroti banyaknya distribusi berita hoaks di berbagai platform global di internet. Dia pun mendesak agar ada regulasi dan pengaturan lebih efektif oleh badan independen yang dibuat untuk memantau berbagai perubahan pemberitaan.

“Kami meminta platform global tetap mendukung kode etik jurnalistik untuk memilah berita yang bisa ditampilkan,” kata Kemal dalam diskusi "Mewujudkan Regulasi Platform Digital Untuk Jurnalisme Berkualitas dan Ekosistem Media Sehat" di Medan, Rabu (8/2/2023).

Dia menjelaskan, Forum Pemred sejauh ini juga menyimpulkan ada beberapa hal yang harus dikaji pemerintah. Misalnya saja platform digital yang mengeruk iklan di cakupan nasional dan mengabaikan nilai jurnalistik. Hingga peraturan perpajakan atau konten.

Menurut dia, dengan adanya kebutuhan yang mencakup negosiasi bagi hasil pendapatan atau bagi hasil konten serta iklan, perlu adanya sikap lebih jauh dari semua pihak. “Jadi regulasi itu sifatnya wajib, lalu perlu ada negosiasi pembentukan badan pelaksana independen di luar Dewan Pers,” ucap dia.

Dia menyebut, badan ini ke depannya harus bisa memahami teknologi, undang-undang monopoli, hingga pengaturan hak cipta. Kemal mengatakan, pembentukan badan tersebut kian mendesak agar berita bermutu dapat menurunkan informasi hoaks. Apalagi, pada tahun politik 2024, media bisa dimanfaatkan untuk kepentingan politik tertentu.

“Kami tidak mau kalau Dewan Pers atau Kominfo hanya bertindak sebagai pemadam kebakaran saat ada berita tertentu. Kalau ada undang-undang atau regulasi yang preventif, distribusi bisa diperbaiki,” ucapnya.

Sementara itu di lokasi yang sama, Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kominfo, Usman Kansong, mengamini hal yang sama. Dia memerinci, ada tiga tantangan yang dihadapi pers Indonesia saat ini. “Teknologi, lalu eknonomi, dan tantangan jurnalisme,” kata Usman.

Menurut dia, tantangan pertama yang membentuk kecepatan cenderung mengabaikan keakuratan. Namun demikian, disrupsi media yang mengandalkan pendapatan dari click bait kian memperburuk masalah ketiga yang membuat degradasi jurnalistik itu sendiri.

“Jadi kita sepakat perlu ada regulasi untuk dimintakan izin prakarsa kepada presiden untuk ada badan independen itu,” kata Usman.

Lebih jauh, Ketua Komisi I DPR Meutya Hafid mengatakan, pengaturan yang menjadi penting saat ini adalah adanya undang-undang yang mampu mengatur itu. Menurutnya, hal itu bisa dilakukan dengan adanya pembentukan beleid dengan risiko yang lama atau merevisi UU pers Nomor 40 tahun 1999.

“Tapi ada saran perpres yang kuat dan baik. Baru kalau kurang bisa dengan undang-undang,” kata Meutya.

Menyoal pengawas di samping Dewan Pers, dengan pembentukan badan pelaksana independen lainnya, dia sebut memang menjadi penting. Apalagi, di negara-negara lain sudah ada badan yang bisa memantau permasalahan media seperti di Indonesia.

“Di sini kita bisa tunjuk Dewan Pers atau meminta presiden membentuk badan baru, karena kita bentuknya presidensial. Tapi kalau dirasa Dewan Pers cukup oleh presiden, maka silakan di situ saja,” ucapnya.

Menyoal platform global yang harus diatur regulasi yang lebih baik, dia pun menyebut sedang melakukan hal tersebut. Menurut dia, hal itu memang harus diselesaikan sebelum tahun politik selesai.

“Kami di DPR sebagai pengawas Dewan Pers memang harus diselesaikan tahun ini. Tapi perlu adanya satu suara dan harus ada kekompakan dari kita,” kata Meutya.

Dia pun berpesan, meskipun ada regulasi yang dibuat ke depannya, penekanan media dalam mendukung hal ini menjadi wajib adanya. Karena jika ekosistem di media terus rusak, lama kelamaan ekosistem yang baik akan mati. “Jadi harus ada poin itu,” jelas dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement