REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kuasa hukum keluarga korban kasus gagal ginjal akut progresif Atipikal (GGAPA) Awan Puryadi mengkritik pedas sikap pemerintah atas perkara itu. Ia menganggap pemerintah sudah bebal dalam kasus yang menyebabkan kematian anak tersebut.
Hal tersebut disampaikan oleh Awan lantaran korban meninggal akibat GGAPA ginjal justru meningkat. Kondisi itu menurut Awan tak disikapi responsif oleh Pemerintah.
"Ini menandakan bahwa memang pemerintah ini yang kemarin itu lalai yang sekarang itu bebal. Kemarin lalai sekarang bebal," kata Awan kepada wartawan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat usai menghadiri sidang gugatan class action, Selasa (7/2/2023).
Awan meyakini meningkatnya jumlah korban GGAPA mengindikasikan pemerintah tak mempunyai Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB). Ia mengklaim belum ada standar pengecekan obat yang tercemar etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DeG).
"Ini menandakan bahwa tetap saja tidak ada standar," ujar Awan.
Awan mencontohkan pelarangan obat batuk Praxion yang diduga menyebabkan GGAPA. PT Pharos Indonesia memang melakukan penarikan produk secara sukarela terhadap obat sirop penurun demam, Praxion sebagai tanggungjawab industri farmasi atas insiden pasien anak yang mengalami GGAPA.
Awan menegaskan seharusnya kasus serupa tak perlu terjadi kalau Pemerintah mengambil langkah serius. "Bebal itu kalau tidak mengakibatkan apa-apa ya enggak masalah, ini mengakibatkan korban nyawa lagi dan kalau pun ada yang survive tidak meninggal pasti cacat lagi," ucap Awan.
Oleh karena itu, Awan mendorong Pemerintah menetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB) untuk kasus GGAPA. Ia meminta Pemerintah tak menutup mata.
"Makanya sebelum ini berlanjut ke yang lebih parah harusnya Pemerintah segera cepat menentukan KLB dan tidak lagi menutupi kasus-kasus ini," ujar Awan.
Diketahui, Awan merupakan bagian dari tim kuasa hukum yang mengajukan gugatan Class Action mewakili 25 korban ke PN Jakpus. Ke-25 korban terbagi atas 3 kelompok yaitu, kelompok I (18 Orang), Kelompok II (6 Orang), dan Kelompok III (1 orang), yang didasarkan pada persamaan fakta hukum dan peristiwa yang dialami.