Sabtu 21 Jan 2023 08:05 WIB

Anomali Iklim 2023, Pemerintah Antisipasi Karhutla

Curah hujan pada 2023 diprediksi akan mengalami penurunan.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Teguh Firmansyah
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar.
Foto: ANTARA/Galih Pradipta
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Indonesia melakukan antisipasi terjadinya kebakaran hutan dan lahan (karhutla) pada 2023 dengan melakukan langkah mitigasi. Diketahui, dalam periode 1-19 Januari 2023 sudah ada 31 titik panas atau hot spot di seluruh wilayah Indonesia. Jumlah tersebut meningkat 29 persen dari tahun lalu dalam periode waktu yang sama.

"Karena itu Pak Menko menegaskan untuk kita berhati-hati, karena data ini mengonfirmasi catatan dari BMKG bahwa tahun 2023 ini kita mungkin akan mengalami anomali iklim rainfall atau curah hujannya menipis dan bisa jadi lebih panas," ujar Menteri Lingkungah Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya Bakar, usai Rapat Koordinasi Nasional Karhutla bersama pihak terkait di kantornya, Jakarta, Jumat (20/1/2023).

Baca Juga

Rapat yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) itu membahas sejumlah langkah antisipasi. Beberapa di antaranya membahas kelembagaan Manggala Agni sebagai brigade pengendalian karhutla dan teknik modifikasi cuaca yang menjadi bagian dalam sistem pencegahan.

"Teknik modifikasi cuaca juga tadi dibahas sebagai sistem pencegahan yang kelihatannya sangat baik dan bisa cukup diandalkan. Karena mungkin akhir Februari atau pertengahan Maret kita juga sudah mulai operasi karena biasanya Pak Presiden akan pesan jangan sampai Lebaran ada asap," kata dia.

Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG)  Dwikorita Karnawati, pada kesempatan itu menjelaskan, pihaknya sudah memprediksi curah hujan pada 2023 akan mengalami penurunan. Di mana kewaspadaan yang pertama perlu dilakukan pada bulan Februari.

"Di mana meskipun sebagian besar wilayah Indonesia masih mengalami hujan, tetapi di wilayah Riau, sebagian Jambi dan sebagian Sumatera Utara memasuki kemarau. Jadi kemarau yang pertama. Yang kedua nanti di pertengahan tahun,\" terang Dwikorita.

Pada Mei, BMKG memprediksi mulai terdeteksi terjadinya penurunan curah hujan, yang hingga mendekati di bawah 150 ml. Itu terjadi terutama di wilayah Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, sebagian Jawa Tengah, Jawa Barat, dan sebagian Sumatera.

"Dan terus berlanjut hingga bulan Juni itu makin meluas zona yang mengalami kering, curah hujan yang semakin rendah. Juni itu Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, dan Kalimantan mulai," jelas dia.

Untuk Kalimantan, sejatinya pada Mei sudah mulai untuk berpotensi terjadi karhutla atau penurunan curah hujan. Pada Juni wilayah yang mengalami penurunan curah hujan semakin meluas hingga Juli meliputi seluruh wilayah Sumatera, hampir seluruh Jawa, Nusa Tenggara.

"Sehingga potensi karhurla akan kita antisipasi sebaiknya mulai April. Tadi Bu Menteri sudah menyampaikan persiapan untuk hal itu mulai Maret. Jadi insyaallah itu jauh lebih dini," kata Dwikorita.

Menkopolhukam, Mahfud MD, menerangkan, dahulu setiap tahunnya pemerintah Indonesia selalu diprotes oleh berbagai negara karena asap yang melintas batas. Di mana, asap karhutla yang terjadi di wilayah Indonesia menyebar ke Singapura, Malaysia, Australia, dan lain sebagainya.

"Sejak tahun 2015 itu sudah mengurang. Hanya terjadi dua bulan. Memudian 2016 dua pekan. Kemudian tinggal dua hari pada 2017. Baru 2019 itu tiga jam. Selebih dari itu tidak ada. Jadi sudah mulai berhasil kita lakukan, mudah-mudahan tahun ini dan seterusnya tetap terkendali," jelas Mahfud.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement