REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) memprediksi praktik politik uang bakal marak terjadi saat bulan suci Ramadhan (22 Maret-21 April 2023). Para peserta pemilu diprediksi bakal memanfaatkan momentum ibadah shalat tarawih untuk memberikan uang kepada masyarakat atau pemilih.
Ketua Bawaslu Rahmat Bagja mengatakan, prediksi ini berkaca dari kejadian saat Pilkada 2018 yang masa kampanyenya bertepatan dengan bulan puasa. Ketika itu, para kontestan membagikan uang kepada pemilih menjelang atau setelah shalat tarawih. Jadi, para politikus itu tidak lagi memberikan uang saat pagi hari jelang pencoblosan atau biasa dikenal dengan istilah serangan fajar.
"Pada saat Pilkada 2018 itu terjadi yang namanya bukan lagi 'serangan fajar', tapi 'serangan tarawih'. Pembagian (uang dilakukan) pada saat shalat tarawih dan menjelang shalat, serta menjelang sahur," kata Bagja ketika berbicara dalam Rapat Koordinasi Tahunan PPATK di sebuah hotel di Jakarta, Kamis (19/1/2023).
Bagja mengakui, petugas pengawas pemilu bakal kesulitan menindak praktik politik uang 'serangan tarawih' ini. Sebab, dilakukan saat malam hari dan saat masyarakat sedang beribadah. "Kami biasanya patroli di jam-jam itu (malam hingga sahur)," ucapnya.
Selain momen bulan Ramadhan, menurut Bagja, para kontestan pemilu juga akan memanfaatkan momentum hari raya Idul Fitri untuk melancarkan praktik politik uang. Praktik jual beli suara pemilih ini dilakukan dengan modus memberikan zakat.
"Nanti akan ada juga open house saat Idul Fitri, terus kemudian (peserta pemilu) bagi-bagi yang katanya uang zakat itu," kata Bagja.
Bagja juga menduga pihaknya bakal kesulitan menghentikan praktik politik uang dengan modus zakat ini. Sebab, Majelis Ulama Indonesia (MUI) kemungkinan bakal kontra.
"Kalau kita berhentikan yang marah MUI, kita dimarahi MUI 'orang berbuat baik kok dibatasi'. Ini juga menjadi permasalahan kami di forum-forum keagamaan," kata Bagja.
Komisioner KPU Idham Holik mengatakan, semua pihak harus terlibat untuk mengatasi permasalahan politik uang ini. Jadi tak hanya penyelenggara pemilu dan peserta pemilu yang harus mencegah politik uang, tapi juga pemilih.
Pemilih, lanjut dia, harus punya integritas. "Kalau kita bicara pemilih yang berintegritas ini tentunya akan mengakhiri diskusi atau rumor pembiayaan kampanye yang mahal," kata Idham dalam kesempatan sama.
Untuk mewujudkan pemilih yang berintegritas, kata dia, maka pemahaman masyarakat soal politik uang harus diubah terlebih dahulu. Salah satunya dengan memberikan pemahaman komprehensif bahwa politik uang tidak hanya melanggar ketentuan pemilu dan hukum pidana, tetapi juga dosa dalam kacamata agama.
"Kalau saja seluruh pemilih memahami politik uang itu tidak sekadar pada persoalan tindak pidana, bukan saja persoalan budaya destruktif, tapi kalau dipahami bahwa itu berkaitan dengan nilai-nilai agama, saya pikir kita bisa mengikis budaya pragmatisme politik itu," kata Idham.