REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Presiden Ma'ruf Amin mengatakan Pemerintah sedang merumuskan upaya penyelesaian nonyudisial untuk para korban pelanggaran HAM berat di masa lalu. Salah satunya dengan melakukan pemulihan atau pengembalian hak-hak kepada para korban.
Ini dilakukan setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengakui ada kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di berbagai peristiwa yang terjadi di Indonesia. Namun demikian, kata Ma'ruf, tidak semua keinginan dalam pemulihan hak korban bisa terpenuhi,
"Diakui ada beberapa pelanggaran HAM dan penyelesaiannya tentu sudah dibuat, dalam sifatnya tidak melalui pengadilan kan, tapi melalui pengembalian hak dan sebagainya dan tentu saja ya, tidak semua yang diinginkan bisa jadi dipenuhi," ujar Ma'ruf saat menghadiri acara Ijtima Ulama Nusantara yang digelar PKB di Hotel Millennium di Jakarta, Jumat (13/1/2023).
Ma'ruf menjelaskan, alasan keinginan tidak semua dipenuhi karena sifatnya penyelesaian HAM. Menurutnya, terdapat aturan yang sudah ditetapkan.
Namun demikian, Ma'ruf memastikan pemerintah akan semaksimal mungkin dalam proses penyelesaian HAM tersebut. "Ada hal aturan yang sudah ditetapkan. Saya kira pemerintah sudah membuat apa yang mesti dilakukan dalam pengembalian hak mereka yang terlanggar haknya. Tunggu saja sedang dirumuskan ada tim ya," ujarnya.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengakui ada kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di berbagai peristiwa yang terjadi di Indonesia. Jokowi pun mengaku menyesal terjadinya peristiwa pelanggaran HAM berat tersebut.
"Dengan pikiran yang jernih dan hati yang tulus saya sebagai Kepala Negara Republik Indonesia mengakui bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa," ujar Jokowi dalam keterangan pers yang disampaikan di Istana Merdeka, Rabu (11/1/2023).
Peristiwa pelanggaran HAM berat ini diakuinya setelah ia membaca laporan Tim Penyelesaian Yudisial Pelanggaran HAM Berat yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022.
Jokowi menyebut terdapat 12 kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di Indonesia. Kasus pelanggaran HAM berat tersebut yakni peristiwa 1965-1966, peristiwa penembakan misterius 1982-1985, peristiwa Talangsari, Lampung 1989, peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis Aceh 1989, peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998, peristiwa Kerusuhan Mei 1998, dan peristiwa Trisakti dan Semanggi I-II 1998-1999.
Selain itu ada pula peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999, peristiwa Simpang KKA, Aceh 1999, peristiwa Wasior Papua 2001-2002, peristiwa Wamena, Papua 2003, dan peristiwa Jambo Keupok Aceh 2003.
Jokowi pun memberikan simpati dan empati yang mendalam kepada para korban dan keluarga korban. Ia juga menegaskan, pemerintah akan berupaya untuk memulihkan hak-hak para korban secara adil dan bijaksana tanpta menigasikan penyelesaian yudisial. “Kedua saya dan pemerintah berupaya sungguh-sungguh agar pelanggaran hak asasi manusia yang berat tidak akan terjadi lagi di Indonesia pada masa yang akan datang,” ujarnya.