Kamis 12 Jan 2023 18:43 WIB

LPSK Apresiasi Sikap Presiden Jokowi soal Penyelesaian HAM Berat

LPSK mengapresiasi sikap Presiden Jokowi dalam penyelesaian kasus HAM berat.

Rep: Amri Amrullah/ Red: Bilal Ramadhan
Wakil Ketua LPSK Maneger Nasution. LPSK mengapresiasi sikap Presiden Jokowi dalam penyelesaian kasus HAM berat.
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Wakil Ketua LPSK Maneger Nasution. LPSK mengapresiasi sikap Presiden Jokowi dalam penyelesaian kasus HAM berat.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengapresiasi sikap pemerintah dalam hal ini pernyataan Presiden Joko Widodo, yang mengakui dan menyesalkan terjadinya 12  peristiwa pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang berat yang terjadi di Indonesia. 

Wakil Ketua LPSK, Maneger Nasution mengatakan pernyataan tersebut merupakan tindak lanjut Laporan Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat Masa Lalu yang dibentuk melalui Kepres Nomor 17 Tahun 2022. Dan LPSK menyambut baik adanya pengakuan dan penyesalan yang disampaikan oleh Presiden RI sebagai Kepala Negara tersebut.

Baca Juga

Alasannya, menurut Manager, pengakuan itu menjadi salah satu isu krusial yang disuarakan oleh mayoritas korban pelanggaran HAM yang berat di masa lalu. Dimana sebagian mereka juga telah mendapatkan layanan perlindungan serta bantuan yang dijalankan oleh LPSK.  

"Adanya pengakuan dan rasa penyesalan atas peristiwa pelanggaran HAM yang berat oleh Presiden RI, diharapkan dapat menguatkan moral para korban yang salama ini terpinggirkan," kata Manager dalam keterangannya, Kamis (12/1/2023).

Pada 2022, ia memaparkan, LPSK telah memberikan layanan bantuan medis sebanyak 4159 orang, psikologis 643 orang, dan psikososial 83 jadi total sebanyak 4322 orang korban pelanggaran HAM berat masa lalu.

Pada 2022 pula terdapat 617 korban pelanggaran HAM yang berat masa lalu yang mengajukan permohonan bantuan medis/psikologis/psikososial dalam konteks pemulihan atas derita mereka sebagai dampak dari peristiwa pelanggaran HAM yang berat. 

“Catatan kami, penanganan korban terorisme dengan diundangkannya UU Nomor 5 Tahun 2018 sudah sangat maju, hal ini dapat menimbulkan kesan negara pilih kasih kepada korban kejahatan lainnya," ujarnya. 

Lebih lanjut Maneger Nasution menekankan bahwa apa yang dilakukan pemerintah itu merupakan langkah awal bagi Indonesia, untuk memberikan perhatian yang konkret dari apa yang tersisa oleh pelanggaran HAM masa lalu. Yakni dengan memasukkannya sebagai program-program yang terukur dan berdampak nyata bagi pemulihan korban. 

Sementara itu, perhatian LPSK dalam memberikan layanan bagi korban pelanggaran HAM masa lalu, adalah bagaimana menjalankan program pemulihan bagi mereka yang menjadi korban. Dengan adanya pernyataan Presiden RI mengenai pelanggaran HAM masa lalu, LPSK menaruh harapan akan selaras dengan kebijakan strategis negara untuk mengembangkan program-program yang riil menjangkau korban.

Salah satunya LPSK Bersama Bappenas telah mengajukan program prioritas nasional yanga pengembangan psikososial bagi korban kejahatan. Program ini menurut Nasution dapat diperluas dengan menjangkau aspek pemulihan bagi korban pelanggaran HAM yang berat masa lalu.

Ia mencontohkan misalnya berbagai bentuk kompensasi yang diberikan kepada korban. Atau juga dengan basis kebijakan pemerintah saat ini yang mulai memperhatikan korban dengan embrio Dana Bantuan Korban yang diatur dalam UU Tindak Pidana Kekerasan Sosial.

“Indonesia dapat membentuk Dana Bantuan Korban yang dapat menjangkau kebutuhan program-program bagi semua korban kejahatan termasuk korban pelanggaran HAM yang Berat masa lalu”, imbuhnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement