Kamis 12 Jan 2023 17:37 WIB

Pengakuan Jokowi Terhadap Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu yang Dinilai tak Cukup

Pengakuan Jokowi harus dilanjutkan membawa kasus HAM berat ke pengadilan.

Presiden Joko Widodo didampingi Ketua Dewan Pengarah Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu Mahfud MD (kanan) berbicara kepada media terkait pelanggaran HAM di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (11/1/2023). Pemerintah Indonesia mengakui terjadinya 12 pelanggaran HAM berat di masa lalu dan akan memulihkan hak-hak korban secara adil dan bijaksana tanpa menegasikan penyelesaian yudisial.
Foto: Dok. Setneg
Presiden Joko Widodo didampingi Ketua Dewan Pengarah Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu Mahfud MD (kanan) berbicara kepada media terkait pelanggaran HAM di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (11/1/2023). Pemerintah Indonesia mengakui terjadinya 12 pelanggaran HAM berat di masa lalu dan akan memulihkan hak-hak korban secara adil dan bijaksana tanpa menegasikan penyelesaian yudisial.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rizky Suryarandika, Dessy Suciati Saputri

Pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait hasil laporan Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (Tim PPHAM) dinilai tidak cukup pada pengakuan saja. Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid, mendorong Presiden Jokowi agar menindaklanjuti laporan tim PPHAM dengan langkah nyata, termasuk membawa kasus pelanggaran HAM berat yang diakui Presiden ke meja hijau. 

Baca Juga

"Pengakuan Presiden Joko Widodo atas pelanggaran HAM di masa lalu tersebut tidak ada artinya tanpa pertanggungjawaban hukum dan keadilan bagi korban," kata Usman kepada Republika, Kamis (12/1/2023). 

Usman menyebut pengakuan Presiden atas  pelanggaran HAM sudah lama tertunda. Alhasil, para korban dibiarkan dalam kegelapan tanpa keadilan, kebenaran, dan pemulihan selama beberapa dekade. 

"Pengakuan belaka tanpa upaya mengadili mereka yang bertanggung jawab atas pelanggaran HAM masa lalu hanya akan menambah garam pada luka korban dan keluarganya," ujar Usman. 

Usman mengkritisi pemerintah yang hanya memilih 12 peristiwa sebagai pelanggaran HAM berat. Ia menyinggung diabaikannya pelanggaran yang dilakukan selama operasi militer di Timor Timur, tragedi Tanjung Priok 1984, peristiwa penyerangan 27 Juli 1996, atau kasus pembunuhan Munir 2004.

"Sekadar menyebut nama-nama peristiwa saja jauh dari cukup. Belum lagi kalau kita bicara tentang kekerasan seksual yang terjadi secara sistematik dalam berbagai situasi pelanggaran HAM berat masa lalu seperti 1965-1966 hingga selama daerah operasi militer selama 1989-1998," ungkap Usman. 

Usman juga memandang pemerintah mengabaikan fakta bahwa proses penyelidikan dan penyidikan setengah hati selama ini telah menyebabkan bebasnya semua terdakwa dalam persidangan. Ia meyakini kelalaian ini merupakan penghinaan bagi korban pelanggaran HAM berat. 

"Jika Presiden Joko Widodo benar-benar berkomitmen untuk mencegah terulangnya kembali pelanggaran HAM berat, pihak berwenang Indonesia harus segera, efektif, menyeluruh, dan tidak memihak menyelidiki, menyidik, menuntut, dan mengadili semua orang yang diduga bertanggungjawab atas pelanggaran HAM masa lalu dimana pun dan, jika ada cukup bukti yang dapat diterima, menuntut mereka dalam pengadilan yang adil di hadapan pengadilan pidana," tegas Usman. 

Selain itu, Usman mengingatkan mengakhiri impunitas melalui penuntutan dan penghukuman pelaku adalah satu-satunya cara mencegah terulangnya pelanggaran HAM. Ia mewanti-wanti setiap kegagalan untuk menyidik atau membawa mereka yang bertanggungjawab ke muka pengadilan memperkuat keyakinan para bahwa mereka memang tidak tersentuh hukum. 

"Pelaku harus dihadapkan pada proses hukum, jangan dibiarkan, apalagi sampai diberikan kedudukan dalam lembaga pemerintahan," sebut Usman. 

Adapun Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) meminta Menkopolhukam Mahfud MD memfasilitasi koordinasi antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung (Kejagung) terkait kewenangan menjalankan penyelidikan dan penyidikan guna menyelesaikan peristiwa pelanggaran ham yang berat melalui mekanisme yudisial. Berikutnya, Komnas HAM berpandangan hak korban atas pemulihan turut berlaku bagi korban peristiwa Pelanggaran HAM yang Berat yang telah disidangkan melalui Pengadilan HAM.

Apalagi bagi mereka yang hingga saat ini belum mendapatkan haknya atas pemulihan yaitu Peristiwa Tanjung Priok 1984, Peristiwa Timor-Timor 1999, Peristiwa Abepura 2000, dan Peristiwa Paniai 2014. Selanjutnya, Komnas HAM Meminta berbagai institusi, seperti TNI, Polri, Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Sosial, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Kementerian Kesehatan, Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Hukum dan HAM, dan Kementerian/Lembaga lain, serta pemerintah daerah/provinsi/kabupaten/kota untuk mendukung kebijakan pemerintah terkait tindak lanjut atas laporan Tim PPHAM.

"Membuka ruang bagi korban untuk mengajukan status sebagai korban Pelanggaran HAM yang Berat kepada Komnas HAM. Komnas HAM berwenang untuk menyatakan seseorang sebagai korban Peristiwa Pelanggaran HAM yang Berat," ujar Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sugiro, Rabu (11/1/2023). 

Komnas HAM pun menginginkan agar Menkopolhukam Mahfud MD merumuskan langkah konkret tindak lanjut atas laporan Tim PPHAM. Hal ini demi pemenuhan hak-hak korban pelanggaran HAM yang berat sesuai Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, dan peraturan perundang-undangan terkait lainnya. 

"Komnas HAM mendukung dan mendorong tindak lanjut dari Laporan Tim PPHAM sebagaimana komitmen yang telah disampaikan oleh Presiden," ucap Atnike. 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement