Jumat 06 Jan 2023 01:51 WIB

'Jika Mantap Mau Nyapres, Sandiaga Harus Secepatnya Mundur dari Gerindra'

Pengamat mengimbau Sandiaga secepatnya keluar dari Gerindra jika niat mau nyapres.

Rep: Amri Amrullah/ Red: Bilal Ramadhan
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Salahuddin Uno. Pengamat mengimbau Sandiaga secepatnya keluar dari Gerindra jika niat mau nyapres.
Foto: ANTARA/Fikri Yusuf
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Salahuddin Uno. Pengamat mengimbau Sandiaga secepatnya keluar dari Gerindra jika niat mau nyapres.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kabar soal PPP yang membuka pintu bagi politisi Gerindra Sandiaga Uno untuk bergabung dan dimajukan sebagai kandidat calon presiden (capres) atau calon wakil presiden (cawapres) mendapat tanggapan pakar politik. Dosen Ilmu Politik Universitas Paramadina Ahmad Khoirul Umam menilai sangat tidak relevan Menteri Pariwisata dan Industri Kreatif itu bergabung ke PPP.

Menurut Umam, Partai Gerindra adalah mesin politik yang didesain untuk memfasilitasi agenda kepentingan Prabowo Subiyanto. Design organisasi kepartaiannya cenderung sentralistik dan lebih menunjukkan corak 'demokrasi terpimpin'.

Baca Juga

Konsekuensinya, menurut dia, praktis tidak ada kontestasi internal untuk mendapatkan mandat partai sebagai capres Gerindra. Sebab, predikat capres Gerindra akan otomatis melekat pada diri Prabowo, hingga ia menghendaki regenerasi pada saatnya nanti.

"Dalam konteks ini, wacana capres Sandiaga melalui Gerindra menjadi tidak relevan," kata Umam kepada wartawan, Kamis (5/1/2023).

Karena, sambung dia, di dalam sangkar Gerindra ini, Sandiaga belum memiliki kapasitas dan ruang bermanuver. Terutama untuk memobilisasi kekuatan dan mengambil alih kepemimpinan Gerindra dari tangan Prabowo.

Artinya, dalam konteks Pilpres, ekspektasi tertinggi Sandiaga dari Gerindra akan berhenti pada level posisi cawapres untuk mendampingi Prabowo, sebagaimana Pilpres 2019 lalu.

Walaupun, Direktur Eksekutif Institute for Democracy dan Strategic Affairs ini menegaskan peluang Sandiaga menjadi Cawapres dari Gerindra di Pilpres 2024 memang masih terbuka. Ia memberi catatan, selama, Sandiaga masih bisa memobilisasi dan mengonsolidasikan partai politik pendukung untuk memenuhi target 20 persen presidential threshold.

"Secara jaringan dan logistik, Sandiaga yang saat ini berada di pemerintahan tampaknya masih bisa mengonsolidasikan sel-sel pendukungnya melalui pemenuhan kompensasi dan skema transaksional," paparnya.

Namun, pengalaman Pilpres 2019 tampaknya menyisakan sejumlah catatan tersendiri. Diantaranya tentang komitmen Sandiaga di mata partai-partai mantan mitra koalisi seperti PKS, PAN, Demokrat, hingga Gerindra sendiri. Karena itu, ia menilai, diperlukan usaha lebih untuk bisa meyakinkan mereka untuk kembali mendukung Sandiaga di Pilpres 2024 mendatang.

Karena itu, Umam menilai, kondisi itu tampaknya sudah diantisipasi oleh Sandiaga, dengan mendekati partai politik yang sekiranya membutuhkan "asupan gizi politik". Sehingga membuka ruang negosiasi antara Sandiaga dan elit partai melalui skema kompensasi yang sepadan.

"Salah satu partai yang didekati Sandiaga adalah PPP, yang saat ini benar-benar membutuhkan dukungan logistik besar untuk mempertahankan eksistensinya sebagai Partai Senayan," terangnya.

Di sisi lain, ia menilai, Sandiaga membutuhkan PPP sebagai kendaraan politik untuk bargaining position di Pilpres 2024 mendatang. Praktis, Sandiaga dan PPP tidak memiliki titik temu ideologis dan basis pemilih yang sama. Keduanya lebih dipertemukan oleh kepentingan politik praktis, yang memang kalkulasinya pragmatis.

Jika PPP jadi diambil alih Sandiaga, besar kemungkinan akan dimanfaatkan untuk kembali meningkatkan bargaining position di hadapan capres lain, tak terkecuali di hadapan Prabowo.

Dengan harapan, para capres itu mau menggandeng Sandiaga sebagai cawapres. Namun, jika harapan itu disematkan ke Prabowo, pasangan Prabowo-Sandi sudah tidak lagi relevan untuk Pilpres 2024.

"Narasi anti-pemerintah tidak lagi relevan mengingat keduanya sudah menjadi bagian dari pemerintahan Jokowi. Jika ingin mengusung narasi keberlanjutan, Prabowo-Sandi adalah nama terdepan yang menyuarakan perubahan di Pilpres 2019 yang dinilai berujung dengan inkonsistensi," jelasnya.

Karena itu, Umam menekankan, jika memang masih ingin istikomah di Gerindra, sebaiknya Sandi mengikuti fatsun politik dan agenda perjuangan Gerindra untuk menyukseskan Prabowo sebagai Presiden RI.

Namun jika Sandiaga lebih asyik dengan agenda kepentingan dirinya sendiri untuk maju capres atau cawapres dengan menggunakan kendaraan partai lain, ia mengingatkan sebaiknya Sandiaga secepatnya mundur dari Gerindra.

"Atau Gerindra segera tegas bersikap untuk mendisiplinkan atau menghentikan manuver dari anasir-anasir politik yang tidak sesuai dengan garis komando kepartaian yang ditetapkan," ujarnya.

Dalam konteks relasi Sandiaga dengan Gerindra, Umam melihat, praktis tidak tampak garis loyalitas yang genuine. Loyalitas Sandiaga terhadap Gerindra lebih ditentukan oleh kalkulasi politik untung-rugi yang dinamis. Jika secara ekonomi-politik Gerindra bisa memberikan rasa aman dan nyaman, Sandiaga akan tetap berada di Gerindra.

"Namun jika ada peluang lebih besar di partai luar, tidak menutup kemungkinan Sandiaga akan segera pamitan," imbuhnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement