REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Partai Buruh menyoroti sejumlah persoalan yang ada di dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Salah satunya terkait dengan peraturan outsourcing, yang dinilai semakin membingungkan jika dibandingkan dengan yang ada di dalam Undang-Undang (UU) Cipta Kerja.
"Terkait dengan outsourcing, di dalam UU Cipta Kerja dibebaskan di semua jenis pekerjaan. Di dalam Perppu Nomor 2 tahun 2022, tampaknya pembuat Perppu ingin mengubah ketentuan tersebut, tetapi menjadi semakin membingungkan," kata Presiden Partai Buruh, Said Iqbal, lewat keterangannya, Kamis (5/1/2023).
Di perppu tertulis, perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksaaan pekerjaan kepada perusahaan alih daya. Dia menafsirkannya, outsourcing tetap diperbolehkan dalam perppu. Dimana penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaaan alih daya akan ditetukan oleh pemerintah. Tapi, pembatasan jumlah jenis pekerjaannya tidak jelas.
"Partai Buruh menilai pasal outsourcing harus kembali kepada UU Nomor 13 Tahun 2003. Ada kegiatan pokok dan penunjang, di mana yang boleh menggunakan outsourcing hanya di pekerjaan penunjang. Itu pun hanya dibatasi untuk lima jenis pekerjaan. Cattering, security, driver, cleaning servis, dan penunjang perminyakan," kata dia.
Sebelumnya, Said telah mengungkapkan, pihaknya akan melakukan aksi apabila Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja tetap dipaksa untuk berjalan dengan isi yang seperti saat ini. Tapi, Partai Buruh akan melihat perkembangan sikap pemerintah dan sikap DPR terlebih dahulu.
"Kita lihat perkembangan sikap pemerintah, sikap DPR yang akan menerima perppu itu bagaimana. Baru Partai Buruh bersama serikat buruh, serikat petani, dan kelas pekerja lainnya akan menggelar aksi kalau isi Perppu tidak sesuai," ujar Said dikutip dari siaran Youtube, Selasa (3/1/2023).
Melakukan aksi tersebut adalah langkah ketiga apabila dua langkah sebelumnya tidak menemukan titik terang. Dimana, langkah pertama yang akan Partai Buruh lakukan adalah melakukan langkah diplomasi. Said mengatakan, pihaknya percaya Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan mendengarkan aspirasi yang mereka berikan.
"Partai Buruh percaya dengan Presiden Jokowi tentu akan mendengar. Karena yang membuat ini kan bukan Pak Jokowi, (tapi) tim Kementerian Perekonomian. Anda bisa bilang, tapi Pak Presiden harus tanggung jawab. Iya, tapi jangan 'dibohongi' dong. Kan berbahaya kalau kaya begitu," kata Said.
Lewat jalur diplomasi itu, Partai Buruh akan menyampaikan sembilan poin yang menjadi perhatian mereka. Poin-poin itu terkait dengan upah minimum, pegawai alih daya, karyawan kontrak, pesangon, pemutusan hubungan kerja (PHK), tenaga kerja asing (TKA), pengaturan jam kerja, pengaturan cuti, dan terkait dengan sanksi pidana yang diatur dalam peraturan tersebut.
"Kalau diplomasi ini tidak (berhasil), jalur hukum akan kita tempuh. Tapi kita konsultasi dulu dengan ahli tata negara Partai Buruh. Boleh tidak perppu di judicial review. Kan Perppu harus dibawa ke DPR dulu, DPR putuskan, baru dapat nomor UU. Itu mau kita lihat perkembagannya," jelas dia.