REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Dalam periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mencanangkan Indonesia menjadi Poros Maritim Dunia sepertinya belum berjalan optimal.
Hal ini disampaikan pengamat maritim dari Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas Strategic Center (IKAL SC), Capt Marcellus Hakeng Jayawibawa.
"Saya melihat apa yang diinginkan Presiden Jokowi, dimana Indonesia menjadi Poros Maritim Dunia belum berjalan optimal,” kata Capt Hakeng dalam keterangan pers kepada media di Jakarta, Senin (26/12/2022).
Namun dirinya memberikan kredit positif terhadap pemerintahan saat ini, karena telah memberi perhatian yang begitu besar pada dunia maritim di Indonesia.
“Hal ini sangat penting saya utarakan mengingat betapa Presiden-Presiden sebelum Presiden Jokowi seakan-akan abai pada sektor maritim. Jokowi dengan berani mencanangkan konsep Poros Maritim Dunia serta tol lautnya," tutur dia.
Capt Hakeng mengingatkan saat ini terdapat satu situasi yang sebetulnya perlu mendapat perhatian serius.
Yaitu terkait diplomasi maritim yang saat ini sedang berlangsung di antara pemerintah Indonesia dengan Vietnam berkaitan dengan batas laut serta penetapan batas Zona Ekonomi Eksklusif.
Dalam perundingan tersebut, tampaknya tim diplomasi Indonesia telah memberikan konsesi bagi Vietnam. Permasalahannya adalah pihak Vietnam sudah tidak lagi memakai posisi dasar single boundary line-nya.
Hal ini karena hal itu maka tim diplomasi Indonesia mempertimbangkan dari sisi positif untuk memberikan lagi tambahan konsesi kepada Vietnam.
Perundingan mengenai batas laut dan penetapan batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) antara Indonesia dan Vietnam sebenarnya telah berlangsung lama sejak 21 Mei 2010. Namun sampai saat ini belum mencapai kesepakatan.
Capt Hakeng menyarakan pihak pemerintah Indonesia yang diwakili tim teknis perundingan untuk tidak menerima usulan Vietnam.
Hal ini, menurut dia, karena bila menerima usulan dari Vietnam maka Indonesia akan mengalami kerugian yang sangat besar.
“Dengan memberikan konsesi sesuai keinginan Vietnam maka kita akan kehilangan potensi pendapatan dari SDA maritim yang ada di wilayah tersebut dan kehilangan ini akan berlangsung selamanya," ujar Capt Hakeng.
Perlu diketahui bahwa Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) 711 yang meliputi perairan Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut Natuna Selatan, merupakan salah satu daerah penangkapan ikan yang strategis di Indonesia.
Di samping kerugian besar dalam hal devisa negara, persoalan berkurangnya wilayah kedaulatan Indonesia juga terjadi.
Dia menyatakan, dirinya dan ratusan juta rakyat Indonesia ingin proses penyelesaian masalah ini dilakukan tidak dengan mengorbankan hak berdaulat dan kepentingan nasional.
Dia menegaskan, dari segi kedaulatan justru perlu penegasan penetapan batas wilayah ZEE Negara Indonesia.
“Jangan karena mengejar target maka menggunakan berbagai cara. Ini bukan strategi yang bijaksana," kata Capt Hakeng.
Sebagai peserta UNCLOS 1982 (United Nations Convention on the Law of the Sea, Konvensi PBB tentang Hukum Laut) sejak 1996, Vietnam dan China patut diduga tidak menghormati hak berdaulat Indonesia.
Aktivitas nelayan-nelayan mereka di wilayah ZEE Indonesia merupakan tindakan melanggar hukum.
Hal tersebut jelas melanggar hak berdaulat sebuah negara sebagaimana diatur dalam UNCLOS 1982 Pasal 56 ayat 1, Pasal 240, 244 dan 246.
Dia menyarakan Pemerintah baiknya tidak tergesa-gesa dalam mengajukan konsesi perbatasan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dengan Vietnam.
“Pencapaian diplomatik jangan sampai mengorbankan kesejahteraan para nelayan yang hingga saat ini hidupnya masih pas-pasan," kata dia.