REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) meminta Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY) membangun sistem mencegah korupsi di dunia peradilan. PBHI tak ingin marwah peradilan tercoreng karena ulah segelintir orang.
Pernyataan itu disampaikan PBHI merespons KPK yang menambah daftar tersangka Hakim Yustisi di MA berinisial EY. Dia menjadi tersangka ke-14 dalam kasus dugaan suap penanganan perkara di MA.
"Berpijak pada pengalaman membongkar kasus korupsi Mantan Sekretaris MA Nurhadi, MA dan KY harusnya dapat membangun sistem yang menutup celah korupsi," kata Ketua PBHI, Julius Ibrani dalam keterangannya kepada wartawan, Senin (26/12/2022).
PBHI mengajak MA-KY mengidentifikasi pola dan modus, termasuk memeriksa indikator kunci. PBHI merujuk Jaksa KPK yang pernah mengungkap skema puppet master dan to own nothing but control everything yang diturunkan lewat pengaturan Register Perkara, Urutan Pemeriksaan, Formasi Majelis Hakim, hingga Pertimbangan dan Amar Putusan.
"Hal yang sama terjadi pada perkara yang tengah menyeret 14 nama dari MA. Indikator-indikator ini adalah kunci yang mengikuti alur manajemen perkara, yang cukup panjang birokrasinya," ujar Julius. Indikator kunci ini, kata dia, dapat menjadi pegangan untuk pembenahan sistem peradilan oleh MA dan KY ke depan.
PBHI juga mendorong evaluasi holistik guna mengembangkan setiap kasus korupsi. PBHI menyoroti indikator kunci dilengkapi dengan kewenangan untuk menggali infomasi, fakta, dan bukti. Sehingga seharusnya menjadi pintu masuk untuk mencegah seluruh pihak yang berperkara.
"Ini termasuk advokat maupun prinsipalnya, Hakim Pengadilan hingga Hakim Agung yang telah terindikasi dengan kejanggalan bahkan temuan awal yang mengarah pada korupsi perkara," ucap Julius.
PBHI berkomitmen penuh mendorong reformasi sistem peradilan, salah satunya pembenahan di Mahkamah Agung. Oleh sebab itu, PBHI melanjutkan Posko Pengaduan Korban Mafia Peradilan.
"Ini diperuntukkan pada siapapun yang menjadi korban praktik-praktik mafia peradilan di seluruh titik dan level," kata Julius.
Di sisi lain, PBHI mengakui perlunya penguatan KPK untuk bersama KY membenahi MA. KPK punya kewenangan yang sangat signifikan melalui Operasi Tangkap Tangan (OTT). Tetapi, KPK pun punya tanggung jawab koordinasi dan supervisi serta pencegahan yang harus sejalan secara simultan dengan OTT.
"Trigger mechanism sebagai mandat KPK harus pula diikuti dengan pembenahan peradilan di bawah MA, yang melibatkan KY," ujar Julius.
PBHI mengingatkan KPK harusnya diberi perluasan kewenangan agar dapat menjangkau seluruh titik birokrasi serta lembaga negara tanpa pengecualian, dan tanpa perlu ada penindakan terlebih dahulu. "Presiden Jokowi, Menkomarves Luhut Panjaitan, dan Menkopolhukam Mahfud MD, harusnya malu dan refleksi diri atas dosa besarnya melemahkan KPK lewat Revisi UU KPK dan menyusupkan Kuda Troya di Pimpinan KPK," kata Julius.