Jumat 23 Dec 2022 12:47 WIB

KPK Dalami Pertemuan Eddy Sindoro dengan Eks Sekretaris MA Nurhadi

KPK juga mengagendakan pemeriksaan saksi Mahendra Dito, yang mangkir.

Rep: Flori Sidebang/ Red: Ratna Puspita
Jubir KPK Ali Fikri
Foto: Republika/Thoudy Badai
Jubir KPK Ali Fikri

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendalami pertemuan mantan petinggi Lippo Grup, Eddy Sindoro dengan eks Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi. Hal ini didalami dengan meminta keterangan seorang saksi dari pihak swasta bernama Indri

Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri mengatakan, Indri dipanggil pada Rabu (21/12/2022. Ia diperiksa di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan. "Saksi hadir dan didalami pengetahuannya antara lain terkait dugaannya adanya pertemuan antara Edy Sindoro dengan tersangka NHD (Nurhadi)," kata Ali dalam keterangan tertulisnya, Jumat (23/12/2022).

Baca Juga

Selain itu, pada hari yang sama, KPK mengagendakan pemeriksaan saksi yang merupakan seorang wiraswasta bernama Mahendra Dito. Namun, dia mangkir dari panggilan penyidik.

"Saksi tidak hadir dan tanpa konfirmasi terkait alasan ketidakhadirannya," kata Ali.

Ali menyebut, tim penyidik akan menjadwalkan ulang pemanggilan Mahendra Dito. KPK pun mengingatkan untuk kooperatif memenuhi panggilan penyidik.

Sebelumnya pada April 2021, KPK menginformasikan membuka penyidikan baru terkait dugaan pemberian suap, penerimaan gratifikasi serta pencucian uang terkait Eddy Sindoro.

"Saat ini KPK telah menaikkan status penyidikan tindak pidana korupsi berupa dugaan penerimaan hadiah atau janji terkait pengurusan perkara dari ES (Eddy Sindoro) dan kawan-kawan. Selain itu, telah dilakukan penyidikan dalam dugaan penerimaan gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU)," kata Ali saat itu.

Namun, KPK belum menjelaskan detail perkara serta tersangka dalam penyidikan tersebut. Penerapan TPPU ini karena ada dugaan terjadi perubahan bentuk dan penyamaran dari dugaan hasil tindak pidana korupsi terhadao pembelian aset-aset bernilai ekonomis seperti properti maupun aset lainnya.

Eddy Sindoro juga sebelumnya telah divonis 4 tahun penjara ditambah denda Rp 200 juta subsider 3 bulan kurungan pada 6 Maret 2019 karena terbukti menyuap mantan panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Eddy Nasution sebesar Rp 150 juta dan 50 ribu dolar AS (senilai total Rp 877 juta). Perbuatan tersebut dilakukan bersama-sama dengan Wresti Kristian Hesti Susetyowati, Ervan Adi Nugroho, Hery Soegiarto dan Doddy Aryanto Supeno.

Tujuan pemberian uang itu adalah agar Edy Nasution mengurus dua perkara, yaitu pertama menunda proses pelaksanaan aanmaning (pemanggilan pihak tereksekusi melaksanakan hasil putusan perkara secara sukarela) terhadap PT Metropolitan Tirta Perdana (PT MTP) dalam perkara PT MTP melawan PT Kwang Yang Motor Co.Ltd (KYMCO) pada 2013-2015 sehingga mendapat imbalan Rp 150 juta.

Pada perkara kedua, Edy Nasution terbukti menerima pendaftaran Peninjauan Kembali PT Across Asia Limited (PT AAL) meskipun telah lewat batas waktu yang ditentukan oleh undang-undang sehingga mendapat imbalan 50 ribu dolar AS. Dalam persidangan terungkap bahwa Eddy Sindoro pernah bertemu dengan Nurhadi menanyakan kenapa berkas perkara belum dikirimkan dan Nurhadi sempat menelepon Edy Nasution untuk mempercepat pengiriman berkas perkara PK.

Sebelumnya, KPK telah memproses Nurhadi dan Rezky Herbiyono dari pihak swasta atau menantu Nurhadi dalam perkara suap dan gratifikasi terkait dengan perkara di MA pada 2011-2016. Keduanya menerima suap dari Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT) Hiendra Soenjoto.

Nurhadi dan Rezky menjalani pidana penjara selama 6 tahun. Keduanya juga dijatuhi pidana denda sebesar Rp500 juta dengan ketentuan apabila tidak dibayar akan diganti dengan pidana kurungan selama 3 bulan.

Berdasarkan putusan kasasi MA pada 24 Desember 2021, keduanya dinyatakan terbukti menerima suap sejumlah Rp 35,726 miliar serta gratifikasi dari sejumlah pihak sebesar Rp 13,787 miliar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement