Selasa 20 Dec 2022 18:30 WIB

Novel Baswedan Bantah Luhut yang Mengkritik OTT KPK

OTT yang sering dilakukan justru mampu melemahkan tindakan rasuah.

Rep: Flori Sidebang/ Red: Ilham Tirta
Mantan pegawai KPK yang tergabung dalam Indonesia Memanggil 57, Novel Baswedan.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Mantan pegawai KPK yang tergabung dalam Indonesia Memanggil 57, Novel Baswedan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan menilai, penindakan terhadap koruptor tidak membuat nama Indonesia menjadi buruk. Menurut dia, justru operasi tangkap tangan (OTT) yang sering dilakukan mampu melemahkan tindakan rasuah.

Hal ini Novel sampaikan menanggapi pernyataan Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan yang mengkritik KPK terlalu sering melakukan penindakan korupsi. Bahkan, Luhut menyebut, OTT membuat nama Indonesia buruk.

Baca Juga

"Kalau dikatakan OTT membuat nama negera jelek, saya kira tidak, ya. Justru kondisi pemberantasan korupsi yang dilemahkan membuat pandangan negara lain terhadap Indonesia menjadi kurang positif," kata Novel dalam keterangan tertulisnya, Selasa (20/12/2022).

Novel mengatakan, dengan perkembangan teknologi informasi membuat masyarakat internasional mudah mengetahui suatu negara praktik korupsinya turun atau tidak. Kalau koruptor tidak ditangkap, mereka juga pasti tahu.

Penggunaan teknologi yang canggih tidak serta merta dapat menecegah terjadinya rasuah. Sebab, kata Novel, banyak modus korupsi yang dilakukan untuk 'mengakali' suatu sistem digitalisasi.

"Contoh soal e-katalog, ternyata banyak modus korupsi dilakukan dengan 'mengakali' sistem e-katalog. Begitu juga dengan digitalisasi sistem pengawasan. Faktanya hanya elektronisasi saja, tidak dilakukan digitalisasi," jelas dia.

Novel pun mengingatkan, korupsi seharusnya dilihat sebagai masalah yang serius. Ia berharap agar para pejabat lebih peduli untuk ikut membasmi praktik rasuah.

"Kita semua tentu berharap pejabat-pejabat negara melihat korupsi itu sebagai masalah serius. Tidak baik kemudian tidak peduli atau permisif terhadap praktik korupsi. Apakah masih belum bisa memahami dampak dari korupsi yang begitu besar?" katanya.

Di samping itu, Novel menjelaskan, pemberantasan korupsi dilakukan dengan tiga pola secara bersamaan, yakni penindakan, pencegahan, dan pendidikan. Menurutnya, jika upaya ini tidak dilaksanakan berbarengan, maka upaya pemberantasan rasuah tak akan maksimal.

"Kalau penindakan tidak dilakukan, pencegahan dan pendidikan tidak akan berdampak efektif," ujarnya.

Sebelumnya, Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan meminta KPK agar tidak sering melakukan penindakan atau penangkapan terhadap koruptor. Menurut dia, upaya pencegahan harusnya dilakukan lebih maksimal.

"Kita kalau mau bersih-bersih amat di surga sajalah kau. Jadi KPK pun jangan pula sedikit-sedikit tangkap-tangkap. Itu enggak bagus juga, ya, lihat-lihatlah," kata Luhut saat memberikan sambutan dalam acara Peluncuran Aksi Pencegahan Korupsi Tahun 2023-2024 di Jakarta Pusat, Selasa (20/12/2022).

Bahkan, Luhut menilai, OTT yang dilakukan oleh KPK membuat nama Indonesia menjadi buruk. Menurut dia, jika pengawasan dilakukan dengan sistem yang terdigitalisasi, maka bakal sulit melakukan korupsi. Karena itu, seluruh pengadaan sebaiknya didigitalisasi agar pencegahan korupsi bisa dilakukan.

"OTT, OTT itu kan ndak bagus sebenarnya, buat negeri ini jelek banget, gitu. Tapi kalau digitalisasi ini sudah jalan, tidak akan bisa main-main," kata dia.

Sebagai informasi, KPK sudah melakukan sembilan kali operasi tangkap tangan terhadap koruptor selama tahun 2022. Antara lain, Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi pada bulan Januari, Bupati Penajam Paser Utara Abdul Gafur Mas'ud, dan Bupati Langkat Terbit Rencana Perangin-angin.

Lalu, KPK juga menangkap tangan Bupati Bogor Ade Yasin, eks Wali Kota Yogyakarta Haryadi Suyuti, Rektor Universitas Lampung (Unila) Karomani, dan Bupati Pemalang Mukti Agung Wibowo. Kemudian, KPK mengamankan Hakim Agung Sudrajad Dimyati dalam operasi senyap yang dilakukan pada bulan September terkait dugaan suap penanganan perkara di Mahkamah Agung (MA), serta Wakil Ketua DPRD Jawa Timur Sahat Tua Simandjuntak.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement