REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sidang kasus pengadaan helikopter angkut AW-101 untuk TNI AU dengan terdakwa Direktur PT Diratama Jaya Mandiri John Irfan Kenway bernasib sama dengan sidang-sidang sebelumnya. Para saksi di sidang ini kembali mangkir dengan berbagai macam dalih.
Jaksa KPK Arief Suhermanto menyebut sudah melakukan panggilan terhadap Ketua Panitia Pengadaan Helikopter Angkut, Fransiskus Teguh Santosa dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Heribertus Hendi Haryoko. Keduanya lagi-lagi beralasan sakit. Keduanya pun ogah bersaksi lewat sidang virtual.
"Fransiskus Teguh Santosa dan Heribitus kami sudah melakukan pemanggilan tapi Fransiskus tadi pagi memastikan kondisinya masih ngedrop sedangkan untuk Heribitus yang ada di Malang menyampaikan sakit sampai tanggal 20, kami tawarkan Zoom dari rumah yang bersangkutan mengatakan tidak mungkin," kata Arief dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Senin (19/12/2022).
Jaksa KPK juga sudah mengirim panggilan berikutnya kepada Staf bagian Keuangan PT Diratama Jaya Mandiri, Angga Munggaran. Hanya saja, Angga masih tak tahu di mana rimbanya karena belum ada kabar.
"Untuk Angga Munggaran masih diupayakan panggilan ke yang bersangkutan dan surat dikirim di Bogor diterima istri tapi tidak bertemu secara langsung (dengan Angga)," ujar Arief.
Hilangnya keberadaan saksi pun terjadi atas nama mantan KSAU TNI Agus Supriatna dan eks Asisten Perencanaan dan Anggaran (Asrena) KSAU TNI AU Supriyanto Basuki. Khusus untuk Agus, KPK mengaku sebenarnya sudah mengirim panggilan kepada tim kuasa hukumnya tapi ditolak. Sedangkan saksi Kepala Dinas Aeronautika TNI AU (Kadis Aero AU) Ignatius Tryandono sudah meninggal.
"Terkait saksi Agus Supriatna sudah berkomunikasi dengan Diskum (Dinas Hukum) TNI AU dan belum dapat informasi dari diskum TNI AU terkait posisi yang bersangkutan. Kemudian Supriyanto Basuki sama dengan Agus Supriatna (tidak ada kabar)," ucap Arief.
Sebelumnya, kasus ini bermula dari TNI AU yang mendapat tambahan anggaran Rp 1,5 triliun di mana salah satu peruntukkannya bagi pengadaan helikopter VIP/VVIP Presiden senilai Rp 742 miliar pada 2015.
Irfan didakwa salah satunya memperkaya eks KSAU Agus Supriatna lewat dana komando sebesar Rp 17,7 miliar.
Sehingga Irfan didakwa melanggar pasalnPasal 2 ayat (1) subsider Pasal 3 Jo. Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.