Ahad 18 Dec 2022 19:05 WIB

Elite Politik Diperingatkan, Sudirman Said: Masyarakat Tidak Bodoh

Elite politik diminta menghentikan wacana penundaan pemilu.

Diskusi Ngopi dari Sebrang Istana, bertema: Merangkum 2022, Menyambut 2023, yang diselenggarakan lembaga survei KedaiKopi, Ahad (18/12/2022).
Foto: istimewa/doc humas
Diskusi Ngopi dari Sebrang Istana, bertema: Merangkum 2022, Menyambut 2023, yang diselenggarakan lembaga survei KedaiKopi, Ahad (18/12/2022).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Institut Harkat Negeri, Sudirman Said, meminta para elite politik di negara ini agar tidak menggulirkan ide-ide tak etis. Menurutnya, masyarakat Indonesia bukan orang bodoh.

Hal ini disampaikan Sudirman Said dalam diskusi Ngopi dari Sebrang Istana, yang diselenggarakan lembaga survei KedaiKopi, Diskusi yang diselenggarakan Ahad (18/12/2022) ini, mengambil tema: ‘Merangkum 2022, Menyambut 2023’.

Sudirman menyebut wacana penambahan masa jabatan presiden tidak pernah dibahas di akar rumput. Sehingga tidak sepantasnya ide-ide itu disampaikan di depan publik, dengan mengatasnamakan menjunjung tinggi demokrasi.

“Ketua MPR bicara soal tiga periode, dengan alasan untuk memancing ide. Apa boleh secara hukum? boleh. Tapi apakah patut diucapkan oleh pemimpin lembaga tinggi negara? seharusnya, tidak,” kata Sudirman Said dalam siaran pers, yang diterima Republika.

Wacana tiga periode yang digelindingkan segelintir elite politik, menurut Sudirman, dapat menimbulkan ketidakpercayaan rakyat terhadap pemerintah. Ia berharap, ide-ide liar seperti itu dihentikan pada 2023.

“Tahun depan itu, pemilu harus kita gunakan sebagai jalan mengembalikan kepatutan. Publik etik. Kita punya banyak orang cerdas untuk mengembalikan publik etik yang saat ini sudah tergerus,” ungkap Sudirman.

Pemilihan Umum 2024, harus melahirkan pemimpin yang menjunjung tinggi etika dan mengerti hukum. Bukan pemimpin yang pragmatis secara politik, sehingga terperangkap oleh konflik kepentingan pribadi.

Diskusi tersebut turut dihadiri pengamat politik Siti Zuhro, pengamat ekonomi Ninasapti Triaswati, pengamat hukum/pegiat HAM Asfinawati, deputi BAZNAS Arifin Purwakananta dan artis Ronal Surapradja.

Siti Zuhro sepakat dengan Sudirman Said. Ia menegaskan, pilpres 2024 harus melahirkan pemimpin baru yang paham hukum dan bisa mengembalikan kepercayaan rakyat terhadap pemerintah.

“Tahun 2023 sudah diprakondisikan di 2022. Pertanyaannya, negeri ini ada gak, sih, yang mengurus? Mengapa sejak 2019 sampai sekarang, rakyat merasa tidak pasti melulu. Politik yang tidak stabil, mengapa nuansa kompetisi begini banget, tidak jelas dan terbelah,” kata Siti.

Ia juga mengayangkan ucapan Ketua MPR, Bambang Soesatyo yang menggelindingkan wacana penambahan 2 tahun masa jabatan presiden Joko Widodo. Menurut dia, hal tersebut sangat melukai rakyat. “Ini apa? sinyal mengadu domba ini. Cara-cara Orde Baru sepertinya ingin ditumbuhkan lagi,” katanya.

Sementara Ninasapti menguatkan pandangan Siti dan Sudirman dari sisi ekonomi. Menurut Nina, tidak ada alasan untuk menunda pemilu atau pilpres sekali pun karena tidak ada hal yang mendesak. Menurut dia, perekonomian Indonesia pada 2023 tetap akan tumbuh di atas 4 persen.

“Jadi bukan resesi, karena tidak akan minus. Kalau melambat, iya. Kita di lingkungan akademis dan para ekonom sepakat, Indonesia tahun depan tidak akan resesi. Asalkan, beberapa pekerjaan rumahnya diselesaikan,” kata Ninasapti.

Menurut dia, resesi hanya bisa terjadi jika dipengaruhi oleh faktor eksternal. Seperti kemungkinan meletusnya perang dunia ketiga. Namun, dari sisi internal, perekonomian Indonesia masih akan tumbuh.

“Oleh karena itu, kita perlu pemimpin berikutnya yang paham akan kondisi global. Faktor internal bisa kita atasi jika pemerintah mau memotong anggaran yang tidak perlu. Kalau itu tidak dilakukan, maka utang bertambah,” ujar Ninasapti.

Pengamat hukum/pegiat HAM Asfinawati, Asfinawati menjelaskan, kontroversi berbagai UU yang disahkan DPR pun harus segera direvisi. Pasalnya, tahun depan sudah memasuki tahun politik dan berpotensi mengekang partisipasi masyarakat.

“Yang baru disahkan, KUHP harus segera direvisi. Tapi sebenarnya, kalau bicara tentang hukum, harus ada partisipasi masyarakat yang bermakna. Memang jadi aneh kalau UU-nya menguntungkan pemerintah, para politisi bicaranya tidak bisa menyenangkan semua orang. Tapi kalau yang tidak menguntungkan pemerintah, direvisi terus. Ini yang saya pikir ini yang sekarang tidak terjadi,” katanya.

Kebijakan tersebut menjadi preseden buruk terhadap demokrasi. Menurut Asfinawati, presiden Indonesia berikutnya juga harus bisa memimpin reformasi di tubuh Polri.

“Polisi langsung di bawah presiden, sedangkan TNI ada kementerian. Maka, yang bisa membenahi polisi, ya, presiden,” kata Asfinawati.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement