REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koalisi Pemantau Paniai 2014 meluapkan kekecewaan atas vonis bebas terhadap terdakwa kasus pelanggaran HAM berat, pensiunan TNI, Isak Sattu. Koalisi memandang putusan ini mesti menjadi bahan evaluasi Presiden Joko Widodo (Jokowi) terhadap Kejaksaan Agung (Kejagung).
Koalisi menganggap vonis bebas terhadap Mayor Inf Purn Isak Sattu membuktikan negara tak berkutik melawan para penjahat HAM di Indonesia. Padahal, putusan itu dibacakan bertepatan dengan 8 tahun momen peringatan peristiwa Paniai.
Majelis hakim sebenarnya sudah menetapkan kasus Paniai memenuhi unsur kejahatan kemanusiaan sebagai pelanggaran HAM berat dalam bentuk pembunuhan dan penganiayaan. Tetapi, Koalisi menyayangkan proses pengungkapan para pelakunya yang tak kunjung terang. Sehingga belum ada satupun pelaku yang dihukum dari perkara Paniai.
"Bukti ketidakbecusan negara dalam penegakan hukum atas kasus ini sudah dapat terlihat sejak gagalnya sejumlah tim yang dibuat untuk menuntaskannya," kata anggota Divisi Pemantauan Impunitas KontraS, Ahmad Sajali selaku bagian dari Koalisi pada Jumat (9/12/2022).
Kasus yang akhirnya disidik oleh Kejagung sebagai pelanggaran HAM berat sejak Desember 2021 ini diproses dalam begitu banyak kejanggalan. Salah satunya, minimnya pelibatan dari penyintas dan keluarga korban meski sejak momen awal peristiwa, mereka secara proaktif memberikan keterangan serta bukti.
"Presiden harus mengevaluasi kinerja Kejaksaan Agung," ujar Sajali.
Koalisi juga menyinggung kemungkinan pembukaan lagi kasus Paniai. Ini merujuk proses pemeriksaan saksi di persidangan mengungkap sejumlah dugaan kuat akan nama-nama eksekutor yang membunuh dan menganiaya para korban. Jika informasi berharga ini tidak ditindaklanjuti dengan penyidikan dan penuntutan, maka Koalisi meragukan kinerja Kejagung.
"Kejaksaan Agung harus menindaklanjuti fakta persidangan dan menggelar upaya hukum lanjutan. Baik terhadap terdakwa yang diputus bebas atau dengan menyeret para pelaku lain baik di tataran langsung atau komando ke pengadilan," ucap Sajali.
Selain itu, Koalisi mengingatkan supaya Pemerintah menyikapi serius kasus Paniai berbekal fakta persidangan dan putusan pengadilan. Sebagai catatan, peristiwa Paniai adalah pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo.
"Proses dan hasil yang buruk tentu dapat dianggap sebagai kualitas dan kapasitas pemerintahan hari ini. Sejarah akan merekam dengan jelas seluruh catatan akan prosesnya," ucap Sajali.
Sebelumnya, Mayor Infantri Purnawirawan Isak Sattu divonis bebas dalam sidang di Pengadilan Negeri Makassar pada Kamis (8/12/2022). Isak merupakan terdakwa tunggal dalam kasus pelanggaran HAM berat Paniai pada 2014.
Majelis hakim meyakini Isak tak terbukti melakukan pelanggaran HAM dalam kasus Paniai. "Mengadili, menyatakan terdakwa Mayor Infantri Purnawirawan Isak Sattu tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran HAM berat sebagaimana dalam dakwaan kesatu dan kedua," kata Hakim Ketua Sutisna Sawati dalam persidangan tersebut.
Atas dasar itulah, Majelis Hakim meyakini Isak Sattu pantas dilepaskan dari semua tuntutan. Sebab, Isak dianggap tak terbukti melakukan kejahatan sebagaimana dalam tuntutan Jaksa.
"Membebaskan terdakwa dari semua tuntutan," ujar Sutisna.
Awalnya, Isak Sattu dituntut penjara sepuluh tahun dalam kasus pelanggaran HAM berat Paniai Berdarah. Namun, Isak divonis bebas karena dakwaan pertama Pasal 42 ayat (1) huruf a dan huruf b Juncto Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf a, Pasal 37 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) tak terbukti.
Kemudian dakwaan kedua Pasal 42 ayat (1) huruf a dan huruf b Juncto Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf h, Pasal 40 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM juga tak terbukti.
Peristiwa Paniai Berdarah terjadi pada 8 Desember 2014 di Lapangan Karel Gobai, Enarotali, Kabupaten Paniai. Peristiwa itu terkait dengan aksi personel militer dan kepolisian saat pembubaran paksa aksi unjuk rasa dan protes masyarakat Paniai di Polsek dan Koramil Paniai pada 7-8 Desember 2014.
Aksi unjuk rasa tersebut berujung pembubaran paksa dengan menggunakan peluru tajam. Empat orang tewas dalam pembubaran paksa itu adalah Alpius Youw, Alpius Gobay, Yulian Yeimo dan Simon Degei.
Kejagung telah memastikan melawan putusan PN Makassar, Sulawesi Selatan yang membebaskan terdakwa Isak Sattu. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Febrie Adriansyah akan memerintahkan tim jaksa pelanggaran HAM berat segera melakukan kajian putusan majelis hakim tingkat pertama itu untuk memastikan pengajuan kasasi ke Mahkamah Agung (MA).
“Terkait dengan perkara HAM Paniai, terdakwa dinyatakan bebas hari ini. Maka jaksanya, saya minta untuk melakukan kasasi,” kata Febrie saat ditemui di Gedung Pidana Khusus (Pidsus), Kejagung, Jakarta, Kamis (8/12/2022).
Menurut Febrie, laporan yang ia terima dari tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) di Makassar, putusan majelis hakim tidak bulat dalam menjatuhkan vonis bebas terhadap terdakwa Isak Sattu itu. “Ada dua hakim yang berbeda pendapat (dissenting opinion),” kata Febri.
Itu artinya, menurut Febrie, ada dua dari lima hakim anggota majelis yang yakin, dan sepaham dengan dakwaan jaksa terhadap terdakwa Isak Sattu. “Dan itu akan kita evaluasi, dan harus kita kaji untuk kasasi nantinya,” terang Febrie.