REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Presiden RI Ma'ruf Amin mengatakan tidak perlu ada amarah dan kebencian terkait dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru. Siapa pun yang berkebaratan bisa menyelesaikannya secara hukum.
"Tidak perlu ada semacam marah-marah dan kebencian," kata Wapres usai menghadiri pembukaan Mukernas II Majelis Ulama Indonesia di Jakarta, Kamis (8/12/2022).
Ma'ruf Amin mengatakan bahwa pemerintah telah melakukan pembahasan bersama DPR RI terkait dengan RUU KUHP. Menurut Wapres, memang sulit untuk mencari kesepakatan semua pihak dalam suatu hal.
Ia meminta pihak yang belum setuju dengan sejumlah pasal dalam KUHP bisa melakukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi terkait dengan pasal-pasal yang dipersoalkan.
"Memang tidak mudah sepakat semua dalam satu hal. Yang belum sepakat bisa judicial review. Saya kira wajar saja kalau ada yang belum sepakat," jelasnya.
Pegiat Hukum dari Advokat Cinta Tanah Air (ACTA), Hendarsam Marantoko mengatakan, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) memang masih ditemukan pasal-pasal kontroversial di dalamnya. Karena itu, ia sebagai advokat dan penggiat hukum bersedia membawa pasal-pasal yang dianggap kontroversial itu ke jalur Mahkamah Konstitusi (MK).
"Memang kita tidak bisa pungkiri, banyak Pasal-pasal kontroversial dan saya juga salah satu orang yang mempersoalkan hal tersebut. Ada pasal-pasal yang harus kita kritisi bahkan harus kita lakukan upaya hukum konstitusi kedepannya," kata Hendarsam, Kamis (8/12/2022).
Menurut dia, jalur konstitusi untuk mengkoreksi beberapa pasal yang dianggap kontroversial, karena bisa mengancam kebebasan pers, berekspresi dan demokrasi itu, adalah jalan yang paling tepat saat ini. Karena Rancangan KUHP itu sudah disahkan menjadi Undang-undang.
Namun terlepas dari polemik itu semua, Hendarsam ingin menekankan hasil produk KUHP yang baru ini merupakan produk anak bangsa Indonesia sendiri.