REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) mengungkapkan kekhawatiran jelang pembacaan vonis kasus HAM berat Paniai pada Kamis (8/12/2022) besok. PBHI menyebut adanya kemungkinan terdakwa tunggal Mayor Infantri Purnawirawan Isak Sattu divonis bebas.
Ketua PBHI Julius Ibrani mengkritisi lemahnya dakwaan sekaligus proses penggalian keterangan saksi terhadap Isak Sattu. Menurutnya, kelemahan ini bisa dimanfaatkan Isak Sattu untuk lepas dari jerat hukum.
"Jika melihat lebih dalam dari substansi dakwaan dan harusnya sejalan pada tuntutan yang sangat lemah dan bahkan melenceng dari fakta peristiwa, maka dapat diproyeksikan bahwa memang sengaja diarahkan untuk diputus bebas," kata Julius kepada Republika, Rabu (7/12/2022).
Julius mendasarkan argumentasinya pada proses persidangan kasus HAM berat Paniai. Menurutnya, persidangan tersebut lebih cenderung seperti kasus kriminal biasa ketimbang kasus pelanggaran HAM berat.
Karena itu, ia pesimistis Isak Sattu bisa divonis maksimal. "Materi pemeriksaan tidak menggambarkan syarat-syarat pelanggaran HAM berat sebagaimana UU 26/2000, lebih seperti pidana umum pembunuhan biasa," ujar Julius.
Kendati demikian, Julius berharap putusan majelis hakim dapat menyeret pihak lain yang bertanggungjawab. Julius mensinyalir masih ada orang-orang yang belum dimintai pertanggungjawaban atas kasus Paniai.
"Putusan menyatakan tidak ada kesesuaian antara peristiwa dengan pemeriksaan, dan majelis hakim memerintahkan untuk menyeret nama-nama komandan tertinggi yang bertanggungjawab," ucap Julius.
Julius tak ingin bila sidang kasus Paniai dijadikan ajang impunitas bagi mereka yang diduga terlibat. Sebab, Julius khawatir kasus Paniai justru dimanfaatkan demi kepentingan segelintir orang.
"Menghapus dosa komandan tertinggi yang seharusnya diseret dan disidangkan dan bertanggungjawab penuh atas status 'khusus' di Paniai pada tahun 2014, baik di institusi Kepolisian maupun TNI, sehingga dapat memuluskan jalan ke kontestasi politik di 2024," singgung Julius.
Sebelumnya, Isak Sattu dituntut penjara sepuluh tahun dalam kasus pelanggaran HAM berat Paniai Berdarah. Tim JPU menuntut Isak karena melanggar dakwaan pertama Pasal 42 ayat (1) huruf a dan huruf b Juncto Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf a, Pasal 37 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM). Kemudian melanggar dakwaan kedua, Pasal 42 ayat (1) huruf a dan huruf b Juncto Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf h, Pasal 40 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Peristiwa Paniai Berdarah terjadi pada 8 Desember 2014 di Lapangan Karel Gobai, Enarotali, Kabupaten Paniai. Peristiwa itu terkait dengan aksi personel militer dan kepolisian saat pembubaran paksa aksi unjuk rasa dan protes masyarakat Paniai di Polsek dan Koramil Paniai pada 7-8 Desember 2014. Aksi unjuk rasa tersebut berujung pembubaran paksa dengan menggunakan peluru tajam. Empat orang tewas dalam pembubaran paksa itu adalah Alpius Youw, Alpius Gobay, Yulian Yeimo dan Simon Degei.