REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Terdakwa Bharada Richard Eliezer (RE) dan korban Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat (J) terungkap sama-sama tak memiliki syarat lengkap dalam penguasaan senjata api kedinasan di kepolisian. Namun, izin penggunaan senjata api tersebut dapat turun lantaran desakan Ferdy Sambo saat masih menjabat sebagai Kepala Divisi Propam Polri dengan pangkat Inspektur Jenderal (Irjen).
Hal tersebut terungkap dalam sidang lanjutan pembunuhan Brigadir J atas terdakwa Bharada RE di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), Senin (28/11/2022). Dalam sidang tersebut, Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengajukan sebanyak 17 orang sebagai saksi.
Salah-satunya adalah Linggom Parasian Siahaan, pejabat di Mabes Polri yang memegang jabatan sebagai Kepala Urusan Logistik Pelayanan Markas (Yanma) Mabes Polri. Linggom mengaku sebagai petugas yang menerbitkan Surat Izin Memegang Senjata Api (SIMSA).
“Kaitannya dengan perkara ini adalah saya yang mengeluarkan surat izin memegang dan menggunakan senjata api atau SIMSA. SIMSA dari saudara Eliezer (RE) dan almarhum Joshua (J), sesuai dengan perintah Bapak Ka Yanma (Kepala Yanma),” kata Linggom kepada majelis hakim saat bersidang di PN Jaksel, Senin (28/11/2022).
Kata Linggom, dalam penerbitan SIMSA untuk Bharada RE dan Brigadir J itu memang sudah bermasalah sejak awal. Linggom menceritakan pada tanggal 15 Desember 2021, ia diminta menghadap atasannya. Yakni Ka Yanma Mabes Polri, Kombes Hari Nugroho.
“Saya dipanggil oleh Bapak Ka Yanma ke ruang beliau. Di dalam ruangan itu, beliau menyerahkan satu lembar kertas. Isinya sudah tertulis atas nama Brigadir Yoshua dan Bharada Eliezer,” kata Linggom.
Setelah melihat satu lembar surat tersebut, kata Linggom, Kombes Hari memerintahkan untuk memproses surat tersebut. “Bapak Ka Yanma perintahkan kepada saya, ‘tolong kamu buatkan SIMSA-nya. Saya tunggu sekarang’,” kata Linggom mengingat perintah atasannya itu.
Selanjutnya, ia bergegas kembali ke ruang kerjanya. Lalu ia memerintahkan satu anggotanya untuk meneruskan perintah penerbitan SIMSA atas nama Bharada RE dan Brigadir J.
“Setelah surat itu dibuat, hari itu juga saya antarkan kembali ke ruangan Pak Ka Yanma,” kata Linggom.
Akan tetapi, kata Linggom, pada keesokan harinya, 16 Desember 2021, ia kembali diminta menghadap ke ruangan kerja Kombes Hari Nugroho. “Pak Ka Yanma kembali memanggil saya. Lalu beliau menyampaikan, ‘Pak Siahaan ini surat senjata apinya kami simpan kembali. Karena prosedurnya tidak lengkap. Tidak ada tes psikologis, tidak ada pengantar satker, tidak ada surat keterangan dokter’,” kata Linggom menirukan ucapan Hari.
Linggom melanjutkan, ia pun menyimpan kembali SIMSA untuk Bharada RE dan Brigadir J tersebut. Namun beberapa hari setelah itu, sekitar tanggal 20 Desember 2021, Linggom kembali diminta Kombes Hari Nugrogo untuk menghadapnya ke ruangan. Saat menghadap itu, Kombes Hari Nugroho menceritakan dirinya yang mendapatkan telefon dari Ferdy Sambo.
Lewat pembicaraan telepon itu, kata Linggom, Kombes Hari menceritakan Ferdy Sambo yang mendesak agar SIMSA untuk Bharada RE dan Brigadir J segera diterbitkan. Meskipun syarat-syaratnya belum lengkap.
“Pak Ka Yanma memerintahkan kepada saya agar menurunkan kembali surat senjata api tersebut. Saya antar ke ruangan, dan saya serahkan kepada Bapak Ka Yanma. Setelah Pak Ka Yanma menerima surat itu, Pak Ka Yanma langsung bicara kepada saya, ‘barusan saya ditelepon Pak Kadiv Propam, Pak Sambo agar segera tanda tangan’,” kata Linggom.
Karena perintah langsung tersebut berasal dari polisi jenderal bintang dua, Linggom, atas perintah juga dari Kombes Hari tak punya posisi menolak. “Setelah itu, saya serahkan,” kata Linggom.
Ketua Majelis Hakim, Iman Wahyu Santosa sempat menanyakan kepada Linggom tentang SIMSA yang diterbitkan untuk Bharada RE dan Brigadir J tersebut. Terutama, terkait dengan standar umum penerbitannya. “Jadi itu prosedurnya tidak lengkap? Tidak ada tes psikologinya?” tanya hakim. Linggom pun memastikan bahwa SIMSA tersebut diterbitkan atas dasar desakan.
“Siap. Itu tidak ada surat tes psikologi, tidak ada pengantar satker, maupun surat keterangan dokter. Prosedur untuk mengeluarkan surat izin memegang dan menggunakan senjata api, itu harus ada keterangan dari satker, kemudian surat lulus tes psikologi, kemudian surat keterangan sehat dari dokter,” kata dia.
Terkait SIMSA cacat tersebut, hakim Iman Wahyu juga menanyakan tentang senjata api jenis apa yang izinnya diterbitkan untuk Bharada RE dan Brigadir J. Linggom mengingat, dalam surat izin tersebut, tertulis Bharada RE dimandatkan memegang senjata api jenis Glock. Sedangkan Brigadir J, senjata api jenis HS. “Dan yang tertulis dalam surat tersebut, Bharada Eliezer dan Brigadir Joshua adalah ADC (ajudan) Kadiv Propam, Pak Sambo,” kata Linggom.
Dalam kasus pembunuhan Brigadir J, lima orang dijadikan terdakwa. Selain Bharada RE, terdakwa lainnya adalah Bripka Ricky Rizal (RR) dan Kuat Maruf (KM). Namun terdakwa utama dalam kasus pembunuhan di Komplek Polri Duren Tiga 46 itu adalah Ferdy Sambo dan isternya, Putri Candrawathi.
Lima terdakwa itu dijerat dengan sangkaan Pasal 340 KUH Pidana, subsider Pasal 338 KUH Pidana, juncto Pasal 55, dan Pasal 56 KUH Pidana. Kelima terdakwa itu terancam hukuman mati atau penjara seumur hidup, atau selama-lamanya 20 tahun penjara.