REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Center for Indonesia Strategic Development Initiative (CISDI) meluncurkan film dokumenter “Di Balik Satu Batang”. Melalui film tersebut, CISDI berupaya menampilkan potret realita buruh dan petani tembakau dalam ekosistem bisnis rokok.
Project Lead Tobacco Control CISDI sekaligus sutradara dokumenter, Iman Zein, mengungkapkan, narasi petani dan buruh tembakau akan terdampak buruk kenaikan cukai tembakau kerap muncul ke permukaan. Tapi, ternyata berbanding terbalik dengan temuan lapangan.
“Di lapangan, para petani mengeluhkan tentang tata niaga yang belum baik. Mereka tidak memiliki kemerdekaan menentukan harga. Belum lagi faktor cuaca yang kadang membuat petani gagal panen. Jadi, kerugian mereka tidak ada hubungannya dengan cukai. Malah jika dialokasikan dengan tepat, Dana Bagi Hasil Cukai Tembakau (DBHCT) justru berdampak baik untuk petani,” ungkap Iman, Kamis (24/11/2022).
Hal tersebut dikonfirmasi Sukiman dan Istanto yang dulunya bekerja sebagai petani tembakau. Kini keduanya memilih menanam secara multikultur. Menurut Sukiman, harga rokok naik terus, tapi harga daun tembakaunya segitu saja. Hal itu membingungkan para petani.
"Kami juga ingin sejahtera. Tapi realitanya, kesejahteraan petani dan industri terasa sekali kesenjangannya,” tutur Sukiman.
Pada kesempatan yang sama, Istanto juga menerangkan tentang kesejahteraan petani yang meningkat setelah melakukan diversifikasi pertanian. Dulu, kata dia, sempat ada kemarau panjang. Banyak petani tembakau merugi karena alami gagal panen, bahkan sampai ada yang menjual tanah pertaniannya.
"Keresahan ini berakhir ketika kami sudah beralih tanam. Di luar dugaan, tanaman seperti buncis, cabe yang ditanam penduduk lokal sudah bisa ekspor. Proses alih tanam ini dibantu dari DBHCHT setelah kita bersurat ke Presiden,” jelas Istanto.
Pro-kontra kenaikan cukai selalu terjadi setiap tahun. Kesejahteraan petani dan pekerja industri tembakau selalu dibenturkan dalam perdebatan cukai rokok. Chief Strategist CISDI, Yurdhina Meilissa, juga turut mempertanyakan kebenaran narasi tersebut.
Menurut dia, hampir setiap tahun Kementerian Keuangan konsisten menaikan cukai tembakau namun produksi rokok tidak mengalami penurunan, malah cenderung meningkat.
“Tahun lalu, produksi rokok di Indonesia meningkat sampai 7,27 persen. Tahun 2020, Indonesia memproduksi 298,4 miliar batang, namun tahun 2021 produksi rokok naik hingga 320,1 miliar batang. Padahal, di tahun itu cukai rokok naik rata-rata 12,5 persen. Jadi mana buktinya industri akan merugi jika cukai rokok dinaikan?,” tutur Yurdhina.
Senada dengan Yurdhina, Founder & CEO CISDI, Diah Satyani Saminarsih, yang juga merupakan Eksekutif Produser film Di Balik Satu Batang, juga berharap agar narasi terkait buruh dan petani tembakau tidak hanya jadi slogan untuk membendung kenaikan cukai tembakau.
"Berdasarkan hasil kajian CISDI tahun 2021, kenaikan cukai rokok hingga 45 persen, tetap dapat berdampak nett positif pada kondisi perekenomian Indonesia. Baik itu meningkatnya pendapatan negara maupun bertambahnya lapangan pekerjaan. Tujuan melandaikan prevalensi perokok juga akan tercapai. Jadi, seharusnya tidak perlu ada keraguan lagi dalam menaikan cukai tembakau,” tutur Diah.
Peluncuran premiere film dokumenter “Di Balik Satu batang” turut dihadiri Febrio Nathan Kacaribu sebagai representasi Kementerian Keuangan yang baru-baru ini mengumumkan kenaikan cukai tembakau rata-rata 10 persen untuk 2023 dan 2024.
Di akhir sesi diskusi film, Diah Saminarsih menyatakan bahwa film dokumenter ini membuka mata kita untuk melihat sisi lain dari para pekerja di sektor pertembakauan.
"Ternyata di balik satu batang rokok terdapat realita kehidupan petani tembakau yang sesungguhnya. Masih banyak PR, terutama dalam kebijakan pengendalian tembakau, yang harus diselesaikan. Keterlibatan multisektor sangat diharapkan agar tidak ada lagi kesalahan dalam pengambilan kebijakan,” kata Diah.