REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi III DPR menyepakati pengambilan keputusan tingkat I terhadap Rancangan Kitab Hukum Undang-Undang Pidana (RKUHP). Pengambilan keputusan diambil usai rapat kerja bersama Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy selama sekira tujuh jam.
"Kami meminta persetujuan kepada anggota Komisi III dan pemerintah apakah naskah RUU KUHP dapat dilanjutkan di tingkat kedua yaitu pengambilan keputusan RUU KUHP yang dijadwalkan pada rapat paripurna DPR RI terdekat. Apakah dapat disetujui?" tanya Wakil Ketua Komisi III Adies Kadir dijawab setuju oleh anggota Komisi III, Kamis (24/11/2022).
Keputusan tersebut juga menandakan RKUHP dapat segera dibawa ke rapat paripurna DPR untuk pengambilan keputusan tingkat II. Agar RKUHP dapat disahkan menjadi undang-undang.
Salah satu yang disepakati Komisi III dan pemerintah adalah penghapusan pasal penghinaan lembaga negara. "Sekaligus kami memberitahukan bahwa Pasal 347 yang tadinya penghinaan terhadap lembaga negara, tadinya kekuasaan umum, kemudian menjadi lembaga negara ini kita hapus," ujar Eddy.
Sebelum keputusan tersebut, ia menjelaskan bahwa Pasal 347 ayat 1 berbunyi, 'Setiap Orang yang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II'. Dalam penjelasannya, lembaga negara terdiri dari MPR, DPR, DPD, Mahkamah Agung (MA), dan Mahkamah Konstitusi (MK).
Kendati Pasal 347 tentang penghinaan lembaga negara dihapus, pihaknya menggabungkannya ke Pasal 240 RKUHP. Sebelum keputusan tersebut, Pasal 240 Ayat 1 menjelaskan, setiap orang yang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina 'pemerintah', dipidana dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.
Pemerintah juga menambahkan penjelasan untuk Pasal 240. Khususnya pengertian tentang pemerintah adalah presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh wakil presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
"Kita merge ke Pasal 240. Sehingga judulnya adalah penghinaan terhadap pemerintah atau lembaga negara yang pada intinya adalah satu, merupakan delik aduan. Itu dia bersifat formil, tapi kalau ada kerusuhan kemudian dia bersifat delik materiil," ujar Eddy.
Kemudian pengertian 'penghinaan' diambil dari Pasal 218 RKUHP. Arti penghinaan adalah perbuatan yang merendahkan atau merusak kehormatan atau citra pemerintah atau lembaga negara, termasuk menista atau memfitnah. Sambungnya, menghina berbeda dengan kritik yang merupakan hak berekspresi dan hak berdemokrasi.