REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi III DPR Adies Kadir ingin agar rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) tak dianggap sebagai alat yang membatasi demokrasi. Karenanya, ia mendorong Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) memberikan penjelasan yang lebih detail terkait pasal penghinaan presiden dan lembaga negara.
"Perlu penjelasan lebih rinci terkait frasa penghinaan tersebut, apakah ini masuk pencemaran, fitnah, atau merendahkan martabat nama baik. Normalnya itu masih dianggap membatasi hak berekspresi dan berdemokrasi, kalau tidak diatur mengenai pengecualian," ujar Adies di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (24/11/2022).
Anggota Komisi III Taufik Basari tetap berharap pasal penghinaan dalam RKUHP dihapuskan. Karena, ada potensi pasal tersebut akan disalahgunakan dan dapat mengancam demokrasi di Indonesia.
Jika tidak dihapuskan, ia mengusulkan agar delik penghinaan diubah menjadi delik fitnah atau tuduhan. Mengingat makna "penghinaan" cakupannya sangat luas dan multitafsir antara satu orang dengan orang lainnya.
"Kita batasi menjadi delik fitnah atau menuduh sesuatu hal diketahuinya yang tidak benar, agar semakin sempit lagi. Menurut saya ini tidak masalah, toh maksudnya sudah tersampaikan di sini, tapi kita harus benar-benar harus memberikan pembatasan," ujar Taufik.
"Kita ingin semua ukurannya objektif, terukur, kalau deliknya penghinaan menjadi fitnah maka kita bisa memberikan ukuran-ukuran yg lebih objektif dan dapat dipertanggungjawabkan," sambungnya.
Dalam RKUHP, juga terdapat pasal penghinaan terhadap pemerintah yang termaktub dalam Pasal 240. Dalam Pasal 240 Ayat 1 dijelaskan, setiap orang yang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina pemerintah, dipidana dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.
Pemerintah juga menambahkan penjelasan untuk Pasal 240. Khususnya pengertian tentang pemerintah adalah presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh wakil presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Sementara itu dalam Pasal 347 ayat 1 berbunyi, "Setiap Orang yang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II". Dalam penjelasannya, lembaga negara terdiri dari MPR, DPR, DPD, Mahkamah Agung (MA), dan Mahkamah Konstitusi (MK).