Rabu 23 Nov 2022 14:29 WIB

BPOM Ajak Wujudkan Kemandirian Produk Darah Dalam Negeri

Fasilitas fraksionasi plasma butuh investasi sangat besar, namun tidak profitable.

Kepala Badan Pemeriksa Obat dan Makanan (BPOM,  Penny K Lukito.
Foto: ANTARA/Asprilla Dwi Adha
Kepala Badan Pemeriksa Obat dan Makanan (BPOM, Penny K Lukito.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia dengan jumlah penduduk yang besar berpotensi untuk dapat menghasilkan plasma darah yang kemudian dapat diolah menjadi produk derivat plasma. Karena itu, Badan Pemeriksa Obat dan Makanan (BPOM) merintis inisasi pengembangan fasilitas fraksionasi plasma, sebagai penopang kemandirian produk darah dalam negeri.

Kepala BPOM Penny K Lukito mengatakan, seluruh produk derivat plasma yang digunakan di Indonesia saat ini, dirasakan semakin meningkat kebutuhannya dan merupakan produk impor dengan harga yang tinggi. Menurut dia, hingga kini belum ada industri farmasi dalam negeri yang siap untuk mengolah plasma menjadi produk derivat plasma, baik dari sisi bisnis maupun teknologi yang akan digunakan.

Kondisi saat ini menunjukkan, fasilitas fraksionasi plasma membutuhkan investasi yang sangat besar, namun tidak profitable. "Mengingat plasma darah tidak untuk dikomersialisasi," kata Penny di acara 'Forum Lintas Sektor Pengembangan Industri Fraksionasi Plasma Dalam Rangka Mewujudkan Kemandirian Produk Darah Dalam Negeri' yang diadakan BPOM di Jakarta dalam siaran pers Rabu (23/11/2022).

Plasma darah merupakan komponen terbanyak dari darah manusia dengan kandungan penting, salah satunya protein dan antibodi yang berfungsi mengobati masalah kesehatan serius. Plasma darah juga bisa menjadi terapi untuk kondisi kronis yang langka, termasuk gangguan autoimun dan hemofilia.

Untuk mencapai kemandirian produk darah dalam negeri, diperlukan bahan baku plasma yang berasal dari UTD yang telah tersertifikasi cara pembuatan obat yang baik (CPOB). Saat ini, terdapat 19 UTD yang memperoleh sertifikat CPOB, yaitu 18 UTD Palang Merah Indonesia (PMI) dan satu UTD rumah sakit.

BPOM terus berupaya mendukung penyiapan fasilitas UTD yang tersertifikasi CPOB untuk menjamin mutu plasma darah dan dapat memenuhi kecukupan serta kontuinitas kebutuhan bahan baku plasma tersebut. Untuk mendorong penerapan CPOB di UTD, BPOM telah menerbitkan beberapa regulasi  untuk memahami dan melaksanakan persyaratan CPOB dalam menghasilkan plasma darah yang bermutu dan aman.

Peran BPOM dalam pengawasan produk darah telah tercantum dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 83 tahun 2014 tentang Unit Transfusi Darah, Bank Darah Rumah Sakit, dan Jejaring Pelayanan Transfusi Darah, Permenkes Nomor 15 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Fraksionasi Plasma, serta Peraturan Kepala Badan POM No 10 tahun 2017 tentang Penerapan Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik di Unit Transfusi Darah dan Pusat Plasmaferesis.

"Melalui forum ini, diharapkan juga dapat menjadi sarana berbagi pengetahuan dan pengalaman dalam pelaksanaan blood regulatory oversight antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, sebagai salah satu bentuk dukungan pemerintah daerah bagi keberhasilan UTD dalam pemenuhan CPOB," ujar Penny.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement