Selasa 15 Nov 2022 18:07 WIB

Dakwaan Penggelapan Dana Santunan dan Alasan Bos ACT tak Ajukan Keberatan

Tiga mantan petinggi Aksi Cepat Tanggap hari ini jalani sidang perdana di PN Jaksel.

Ketua Majelis Hakim Hariyadi dan terdakwa mantan Presiden Aksi Cepat Tanggap (ACT) Ahyudin (dalam pantulan layar) saat menjalani sidang pembacaan dakwaan yang digelar secara virtual di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Selasa (15/11/2022). Sidang tersebut beragendakan pembacaan dakwaan terkait perkara dugaan penggelapan dana bantuan Boeing oleh Aksi Cepat Tanggap (ACT) dengan terdakwa mantan Presiden ACT Ahyudin. Republika/Thoudy Badai
Foto: Republika/Thoudy Badai
Ketua Majelis Hakim Hariyadi dan terdakwa mantan Presiden Aksi Cepat Tanggap (ACT) Ahyudin (dalam pantulan layar) saat menjalani sidang pembacaan dakwaan yang digelar secara virtual di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Selasa (15/11/2022). Sidang tersebut beragendakan pembacaan dakwaan terkait perkara dugaan penggelapan dana bantuan Boeing oleh Aksi Cepat Tanggap (ACT) dengan terdakwa mantan Presiden ACT Ahyudin. Republika/Thoudy Badai

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Bambang Noroyono, Antara

Tiga petinggi dan mantan pengurus Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT), pada Selasa (15/11/2022) didakwa melakukan tindak pidana penggelapan dana santunan ahli waris korban kecelakaan pesawat Lion Air JT 610 2018 senilai Rp 117,98 miliar. Dakwaan tersebut dibacakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) saat persidangan pertama kasus tersebut atas terdakwa Ahyudin, Ibnu Khajar, dan Hariyana binti Hermain di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel).

Baca Juga

Terdakwa Ahyudin diketahui sebagai President Global Islamic Philantrophy, lembaga kemanusian dan filantropi yang menaungi Yayasan ACT. Terdakwa Ibnu Khajar, adalah Senior Vice President Partnership Network Departement.

Adapun, terdakwa Hariyana diketahui sebagai Senior Vice President Operation. Ketiga terdakwa itu dijerat dengan sangkaan sama dalam dakwaan, dengan Pasal 374 KUH Pidana subsider Pasal 372 KUH Pidana juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana.

Dalam dakwaan yang dibacakan oleh Jaksa Lusiana, disebutkan  penggelapan dana tersebut terjadi 2018-2021. Dikatakan, pada 29 Oktober 2018 terjadi kecelakaan pesawat udara Lion JT 610 yang menggunakan armada Boeing 737 Max 8.

Peristiwa itu menewaskan 189 penumpang dan kru. Pihak Boeing Company mengalokasikan dana sebesar 25 juta dolar AS, atau setara Rp 350 miliar.

Dana tersebut, disiapkan sebagai kerahiman terhadap para ahli waris korban kecelakaan pesawat udara yang menggunakan armada Boeing. Dana tersebut penyalurannya melalui Boeing Financial Assistance Fund (BFAF). Penyalurannya, pun diserahkan langsung kepada para ahli korban. 

Selain itu Boeing Company juga menyiapkan dana 25 juta dolar AS untuk para komunitas sebagai bantuan filantropis terdampak kecelakaan. Penyaluran dana tersebut, dilakukan melalui Boeing Community Investment Fund (BCIF). Namun dana BCIF tersebut penyalurannya melalui organisasi amal, atau pihak ketiga yang ditunjuk para ahli waris korban.

Atas keberadaan dana BFAF tersebut sebanyak 189 keluarga korban JT 610 mengajukan klaim. Masing-masing ahli waris mendapatkan 144,3 ribu dolar AS, atau setara Rp 2,02 miliar.

"Di mana dana santunan tersebut diterima langsung oleh ahli waris,” demikian tertulis dalam surat dakwaan.

Selain itu, 189 ahli waris korban JT 610 juga mendapatkan dana BCIF. Karena dana santunan BCIF tersebut harus menyertakan lembaga pihak ketiga, Yayasan ACT disebutkan aktif melakukan pendampingan terhadap para ahli waris untuk pencairan dana BCIF tersebut. 

“Bahwa Yayasan ACT secara aktif menghubungi keluarga korban dan mengatakan, bahwa Yayasan ACT telah mendapatkan amanah atau ditunjuk dari perusahaan Boeing untuk menjadi lembaga yang mengelola dana BCIF tersebut,” ujar jaksa.

ACT juga disebutkan meminta 189 keluarga korban JT 610 turut memberikan rekomendasi kepada pihak Boeing agar menjadikan yayasan tersebut sebagai lembaga pihak ketiga pengelola dana BCIF. Dalam rekomendasi tersebut, dikatakan dana masing-masing 144,5 ribu dolar untuk 189 ahli waris korban JT 610 akan dikelola untuk pembangunan fasilitas sosial.

Dalam rekomendasi tersebut, Yayasan ACT juga sudah menyiapkan 68 fasilitas sosial sebagai penerima manfaat dari dana BCIF. Beberapa fasilitas sosial penerima manfaat berupa pembangunan sarana pendidikan Nurul Yaqin Rajatama Islamic Elementary School di Bali.

Akan dibangun juga fasilitas pendidikan Muhammadiyah Secondary School Wonosari, Yogyakarta. Fasilitas pendidikan Persis Tanjungsari Secondary School di Tasikmalaya, Jawa Barat (Jabar). Pembangunan fasilitas pendidikan Kalam Kudus Elementary School High and Bahagia Junior High School di Pangkal Pinang, Bangka Belitung.

Selain itu juga tercatat penerima manfaat pembangunan fasilitas pendidikan Strada Van Lith II Elementary School di Duren Sawit, Jakarta Timur (Jaktim). Fasilitas pendidikan Santo Paulus I of Elementary School dan Tuna Cendekia Integrated Mataram, di Nusa Tenggara Barat (NTB).

Fasilitas pendidikan Soropeto Inpres Elementary School di Langgudu, Bima, NTB, dan pembangunan-pembangunan sarana sekolah, serta kegiatan edukasi lain-lain yang tersebar di hampir seluruh provinsi Indonesia. Dari 68 fasilitas pendidikan yang menerima dana manfaat BCIF tersebut, masing-masing disalurkan Rp 2,037 miliar setara 144,5 ribu dolar AS.

“Bahwa proposal pengajuan dana BCIF tersebut dilakukan pihak Yayasan ACT yang diketahui oleh terdakwa Ahyudin, terdakwa Ibnu Khajar, dan terdakwa Hariyana binti Hermain,” begitu dikatakan dakwaan.

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement