Selasa 15 Nov 2022 14:11 WIB

Jalan Tengah Rumusan Pasal Penyerangan Harkat dan Martabat Presiden di RUU KUHP

Maksud penyerangan harkat dan martabat di RUU KUHP adalah menista atau memfitnah.

Wamenkumham Edward Omar Sharif Hiariej mengikuti rapat kerja bersama Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (9/11/2022).Pemerintah telah menyerahkan draf terbaru RUU KUHP untuk selanjutnya dibahas oleh DPR. (ilustrasi)
Foto:

Pada Senin (14/11/2022), Komisi III DPR menggelar rapat dengat pendapat umum terkait RUU KUHP. Dalam rapat itu, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengusulkan agar pasal terkait penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat presiden dan/atau wakil presiden dalam draf RUU KUHP dihapuskan. Atau setidak-tidaknya diturunkan dengan ancaman hukuman penjara paling lama enam bulan demi mengefektifkan hukuman kerja sosial.

"Penghinaan kami berharap di ancaman enam bulan, supaya apa? Supaya kerja sosial langsung bisa digunakan karena dalam konteks harkat martabat yang paling penting adalah pengadilan mengatakan yang disampaikan itu salah sehingga harkat martabatnya terpulihkan, bukan untuk memenjara orang. Jadi ancaman pidana 6 bulan untuk mengefektifkan kerja sosial," kata Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Napitupulu.

Menurut Erasmus,kekerasan lisan atau verbal crime seharusnya tidak memiliki konsekuensi terhadap pembatasan pidana terhadap ruang gerak dan tubuh. Ia juga mengusulkan agar definisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat presiden dan/atau wakil presiden yang dimaksud dibatasi yakni berupa fitnah, yang memiliki pengertian menuduhkan suatu hal yang diketahuinya tidak benar terhadap presiden dan wakil presiden.

Definisi penghinaan tersebut, kata Erasmus, agar juga berlaku sama untuk pasal terkait penghinaan terhadap pemerintah, kekuasaan umum dan lembaga negara. Selain itu, Erasmus mengusulkan agar penghinaan terhadap pemerintah, kekuasaan umum dan lembaga negara dapat dilebur menjadi satu yakni dalam perspektif penghinaan lembaga negara.

Erasmus juga merekomendasikan agar apa yang dimaksud dengan lembaga negara dalam pasal terkait juga dilakukan pembatasan agar tidak melebar yakni lembaga yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945. Di antaranya, DPR, DPD, MPR, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan dan Pemerintah Daerah.

"Jadi logikanya bukan supaya melindungi lembaga negara saja semata, tapi untuk memberikan pembatasan supaya lembaga-lembaga lain, (misal) Satpol PP tiba-tiba melapor dan lain-lain itu sangat berbahaya," ujarnya.

Ia juga meminta agar Pasal 240 terkait penghinaan terhadap pemerintah yang mengakibatkan terjadinya kerusuhan dalam masyarakat agar dihapuskan, atau setidak-tidaknya ia memberi rekomendasi alternatif agar Pasal 240 ayat (1) berbunyi, "Setiap orang yang di muka umum menuduhkan suatu hal yang diketahuinya tidak benar terhadap lembaga negara dengan maksud menyebabkan terjadinya kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II".

Kemudian rekomendasi selanjutnya, ujarnya lagi, Pasal 240 ayat (2) berbunyi, "Dalam hal tindak pidana yang dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan terjadinya kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV".

Adapun pasal terkait tindak pidana penghinaan terhadap individu, Erasmus menyebut pihaknya merekomendasikan agar ancaman hukuman pidananya dirubah menjadi lebih rendah. Ia menilai ancaman hukuman pidana yang diberlakukan Indonesia terlalu tinggi, padahal di negara lain ancaman hukuman pidana terkait telah mengalami perubahan.

"Ancaman pidana kita terlalu tinggi? Kenapa kita punya ancaman pidana di pencemaran (itu) sembilan bulan dan difitnah sampai dengan empat tahun karena menurut Belanda kita adalah bangsa kelas sekian yang harus diberikan hukuman lebih berat, di Belanda ancaman pidananya 6 bulan, pimpinan," katanya.

Oleh karenanya, ia berharap pemerintah dan DPR memiliki semangat dekolonialisasi dalam menyusun RKUHP baru yang berdasarkan HAM dan Indonesia sebagai negara demokrasi yang modern.

Anggota Komisi III DPR RI Taufik Basari menilai baik usulan perubahan delik penghinaan menjadi fitnah dalam pasal penghinaan terhadap lembaga negara dan kekuasaan umum pada draf terbaru RUU KUHP.

"Saya setuju bahwa kita batasi dengan mengubah nomenklatur penghinaan rumusannya menjadi delik fitnah atau dari delik penghinaan menjadi delik fitnah. Menurut saya, ini adalah jalan tengah yang sangat baik yang kemudian bisa kita rumuskan," kata Taufik.

Taufik menilai bila pasal penghinaan terhadap harkat dan martabat presiden nantinya tetap masuk dengan rumusan yang berbeda dalam Pasal 134 KUHP yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), maka ia menegaskan setidaknya pasal tersebut diberikan batasan-batasan agar tidak serupa seperti Pasal 134 yang telah dibatalkan oleh MK itu.

Ia pun menyambut baik masukan-masukan dari Aliansi Reformasi KUHP yang dinilainya sebagai kesempatan untuk merumuskan pasal-pasal dalam RKUHP lebih ketat lagi, sehingga menghasilkan rumusan yang dapat menjamin tetap tegaknya demokrasi di Indonesia.

 

"Mayoritas di antaranya masukan-masukan ini adalah masukan-masukan yang sangat substantif yang menurut saya patut untuk kemudian kita jadikan bahan ketika nanti kita membahas bersama-sama dengan pemerintah pada tanggal 21 November yang akan datang," ujarnya lagi.

 

photo
Kepuasan Publik Terhadap Kinerja Jokowi Turun - (infografis republika)

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement