Senin 14 Nov 2022 15:37 WIB

Faktor Meringankan dan Memberatkan Tuntutan Mayor Isak Sattu, Terdakwa 'Paniai Berdarah'

Mayor Infantri Purnawirawan Isak Sattu dituntut 10 tahun penjara.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Andri Saubani
Ilustrasi Pelanggaran Berat HAM
Foto: MgIT03
Ilustrasi Pelanggaran Berat HAM

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Terdakwa kasus pelanggaran HAM berat, Paniai, Mayor Infantri Purnawirawan Isak Sattu dituntut 10 tahun penjara. Tuntutan itu dibacakan oleh tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam persidangan di Pengadilan Negeri Makassar pada Senin (14/11/2022).

Tim JPU meyakini Isak terbukti bersalah dalam kasus HAM berat Paniai Berdarah yang terjadi pada 2014. Kejahatan yang dilakukan Isak disebut tim JPU pantas digolongkan sebagai kejahatan kemanusiaan. 

Baca Juga

"Menyatakan terdakwa Mayor Infantri Purnawirawan Isak Sattu terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat berupa kejahatan terhadap kemanusian," kata JPU Emilwan Ridwan dalam persidangan itu. 

Tim JPU menuntut Isak melanggar dakwaan pertama Pasal 42 ayat (1) huruf a dan huruf b Juncto Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf a, Pasal 37 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) dan dakwaan kedua yaitu Pasal 42 ayat (1) huruf a dan huruf b Juncto Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf h, Pasal 40 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. 

Selain itu, tim JPU memandang semua unsur tindak pidana yang didakwakan dalam dakwaan kesatu dan kedua telah terbukti sah dan meyakinkan selama persidangan. Sehingga pada diri Isak tidak terdapat alasan pembenar dan pemaaf yang dapat menghapuskan pidana. 

"Maka terdakwa harus dinyatakan bersalah," tegas Ridwan. 

"Menjatuhkan pidana kepada Mayor Infantri Purnawirawan Isak Sattu oleh karenanya dengan pidana penjara selama 10 tahun," ujar Ridwan, menambahkan. 

Tim JPU turut membeberkan sejumlah faktor meringankan dan memberatkan atas tuntutan itu. Dalam pertimbangan yang memberatkan, pertama, Isak dinilai tidak mampu mengetahui informasi peristiwa penyerangan oknum TNI pada 7 Desember di Pondok Natal.

Hal itulah yang membuat warga tidak terima dengan perlakuan oknum TNI itu sehingga pada tanggal 8 Desember warga berunjuk rasa ke lapangan Karel Gobay.  Kedua, Isak dinilai tidak mampu melakukan koordinasi dengan aparat Polres Paniai dan Polsek Paniai Timur hingga terjadinya aksi perusakan markas Koramil Enarotali dan Polsek Paniai Timur. 

"Tiga, (Isak) tidak mampu mengendalikan anggota TNI yang bertugas di Koramil Enarotali dalam peristiwa unjuk rasa pada 8 Desember yang menyebabkan 4 orang meninggal dan 10 orang luka-luka," kata jaksa Ridwan. 

Berikutnya, JPU juga mempertimbangkan beberapa faktor yang pantas menjadi alasan meringankan hukuman terhadap Isak. Yaitu Isak belum pernah dihukum, bersikap koperatif sehingga proses sidang berjalan lancar, memberikan keterangan tidak berbelit-belit, sudah berusia lanjut, kepala keluarga. 

JPU kemudian mempertimbangkan pengabdian Isak selama 37 tahun kepada negara dan tidak pernah dihukum pidana serta disiplin militer selama menjalani karier kemiliterannya. 

"Terdakwa pernah terima Satya Lencana Kesetiaan," ujar Ridwan. 

Selain itu, JPU mempertimbangkan Isak yang mengabdikan diri sebagai pelayan agama di gereja setelah pensiun dari TNI.  "Sembilan, bahwa dari keterangan saksi, pada pokoknya terangkan bahwa Pemkab Paniai sudah memberikan bantuan uang 300 juta (kepada korban)," ucap Ridwan. 

Peristiwa Paniai Berdarah diketahui terjadi pada 8 Desember 2014 di Lapangan Karel Gobai, Enarotali, Kabupaten Paniai. Peristiwa itu terkait dengan aksi personel militer dan kepolisian saat pembubaran paksa aksi unjuk rasa dan protes masyarakat Paniai di Polsek dan Koramil Paniai pada 7-8 Desember 2014.

Aksi unjuk rasa tersebut berujung pembubaran paksa dengan menggunakan peluru tajam. Empat orang tewas dalam pembubaran paksa itu adalah  Alpius Youw, Alpius Gobay, Yulian Yeimo, dan Simon Degei.

 

photo
12 Pelanggaran HAM Berat Masih Stagnan - (ANTARA)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement