REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) masih menaruh harapan atas penyelenggaraan sidang kasus HAM berat Paniai Berdarah di Pengadilan Negeri Makassar. Sidang itu diharapkan mampu membuktikan kemampuan Indonesia dalam menyidangkan kasus pelanggaran HAM.
Pada pekan depan, sidang Paniai mencapai tahap pembacaan surat tuntutan. Wakil Ketua Komnas HAM RI Amiruddin menekankan agar majelis hakim dan jaksa dapat memaksimalkan perannya di sisa sidang Paniai.
"Poin saya adalah, jangan sampai pengadilan HAM Paniai ini menjadi sungsang berpikirnya. Kalau itu terjadi, kita kehilangan dua hal," kata wakil Ketua Komnas HAM RI Amiruddin dalam pertemuan dengan wartawan pada Kamis, (10/11/2022).
Amir ingin sidang Paniai dijadikan momentum guna melakukan perbaikan di sejumlah bidang. "Pertama, kita kehilangan kesempatan untuk mengoreksi pendekatan keamanan di Papua. Kesempatan kedua yang hilang apa, kesempatan untuk mempelajari lebih baik tentang dua tindak pidana, terutama tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan itu sendiri," lanjut Amir.
Amir menegaskan pentingnya sidang Paniai sesuai UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM. Dalam aturan itu, kejahatan kemanusiaan adalah perbuatan pidana yang terjadi secara sistematis dan meluas dimana sistematis artinya merupakan kelanjutan dari kebijakan penguasa.
"Jadi yang sedang diperiksa di Paniai ini apakah peristiwa itu betul-betul terjadi sebagai kelanjutan kebijakan penguasa atau tidak. Komnas HAM dalam melakukan penyelidikan dulu, diperintahkan untuk itu," ujar Amir.
Namun, Amir menyayangkan adanya perbedaan signifikan dari hasil penyelidikan Komnas HAM dengan surat dakwaan Jaksa. Salah satunya mengenai hilangnya Operasi Pengamanan Daerah Rawan (Pamrahwan) yang dilakukan aparat TNI. Sehingga dakwaan Jaksa hanya fokus pada kejadian penembakkan warga di Markas Koramil Enarotali, Paniai.
"Dakwaan Jaksa, kalau bahasa orang kampung saya, jauh panggang dari api. Jaksa mengonstruksikan peristiwa hanya pada kejadian di Makoramil itu. Makanya tersangkanya si pabung (Perwira Penghubung) itu (Isak Sattu)," ucap Amir.
Amir menduga sebenarnya ada pihak lain yang mesti bertanggungjawab dalam peristiwa ini. Apalagi Pabung Isak tak punya punya kewenangan untuk mengendalikan anggota Koramil.
"Karena operasi sebesar itu masa penanggungjawabnya dia (Isak)? Paham nggak? Ini lah problem pengadilan ini. Dakwaan jaksa berhenti pada peristiwa pagi itu," singgung Amir.
Peristiwa Paniai Berdarah terjadi pada 8 Desember 2014 di Lapangan Karel Gobai, Enarotali, Kabupaten Paniai. Peristiwa itu terkait dengan aksi personel militer dan kepolisian saat pembubaran paksa aksi unjuk rasa dan protes masyarakat Paniai di Polsek dan Koramil Paniai pada 7-8 Desember 2014. Aksi unjuk rasa tersebut berujung pembubaran paksa dengan menggunakan peluru tajam. Empat orang tewas dalam pembubaran paksa itu adalah Alpius Youw, Alpius Gobay, Yulian Yeimo dan Simon Degei.
Isak Sattu didakwa melanggar Pasal 42 ayat (1) huruf a dan huruf b Jis Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf a, Pasal 37 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM). Isak juga diancam pidana dalam Pasal 42 ayat (1) huruf a dan huruf b Jis Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf h, Pasal 40 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.