REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengkritik rencana pemberian kompensasi dengan total Rp 147 miliar kepada komisioner KPU daerah yang diberhentikan lebih awal demi penyeragaman masa jabatan komisioner. Bagi Perludem, pemberian kompensasi itu aneh.
"Soal adanya narasi kompensasi itu lebih aneh lagi menurut saya.... Mereka tidak bekerja, tapi negara tetap menanggung beban keuangan gaji mereka," kata peneliti Perludem Fadli Ramadhanil kepada wartawan di Senayan, Jakarta Selatan, Rabu (9/11/2022).
KPU RI mengusulkan agar masa jabatan komisioner KPU daerah di seluruh Indonesia diseragamkan mulai tahun 2023. Usulan itu disampaikan dalam rapat konsinyering pembahasan draft Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) UU Pemilu.
Jika penyeragaman dilakukan pada 2023, sejumlah komisioner yang kini menjabat harus diberhentikan lebih dini. Konsekuensinya, negara harus membayar kompensasi kepada mereka atas masa jabatannya yang belum dijalani.
KPU RI menyatakan, total dana kompensasi yang harus dibayarkan adalah Rp 147 miliar. Fadli mengusulkan, negara tidak perlu membayar dana kompensasi.
Ia menambahkan, sebaiknya penyeragaman masa jabatan komisioner KPU daerah dilakukan mulai 2025. Dengan demikian, masa jabatan komisioner saat ini perlu diperpanjang hingga 2025.
Selain negara tak perlu membayar kompensasi, lanjut Fadli, penyeragaman mulai 2025 juga tidak akan mengganggu tahapan Pemilu 2024. Seleksi setelah pemilu tentu juga akan membuat prosesnya cenderung bisa terlepas dari kepentingan politik elektoral.
"Jadi kalau mau ditransisikan untuk pembenahan masa jabatan komisioner KPU daerah ini, solusinya yang paling baik adalah memperpanjang masa jabatan komisioner yang ada sekarang sampai pertengahan tahun 2025," kata Fadli.
Peneliti senior Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) Hadar Nafis Gumay juga mengkritik usulan KPU RI tersebut. Senada dengan Fadli, Hadar berpendapat bahwa pergantian masa jabatan komisioner secara serentak pada tahun 2023 akan mengganggu tahapan Pemilu 2024.
Dana kompensasi yang harus dibayarkan juga membebani keuangan negara. "Justru yang perlu dilakukan adalah perpanjangan, bukan mempercepat (masa jabatan komisioner KPU daerah saat ini)," ujar Hadar kepada wartawan, Rabu.
"Kalau mempercepat ... negara harus mengeluarkan uang kompensasi. Selain itu, ada potensi penolakan (dari komisioner yang masa jabatannya dipangkas), yang tentu merepotkan KPU RI karena harus melalui proses hukum," imbuh eks Komisioner KPU RI itu.