Rabu 09 Nov 2022 19:43 WIB

Sejarah Tembakau, Pernah Jadi Alat Diplomasi

Kini, identitas sekaligus tradisi kedaulatan dari tembakau memang mulai terkikis.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Ratna Puspita
Petani tembakau di Ponorogo, Jawa Timur.
Foto: ANTARA/Siswowidodo
Petani tembakau di Ponorogo, Jawa Timur.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tembakau sejak dahulu telah menjadi salah satu ciri khas dari identitas kebudayaan nusantara. Tak hanya komoditas, tembakau lekat dengan kehidupan masyarakat mulai dari menjadi bagian ritual tertentu hingga sebagai alat diplomasi sejumlah pahlawan nasional, yaitu Soekarno dan Agus Salim.

"Kretek yang merupakan campuran dari tembakau dengan cengkeh itu khas Indonesia. Sejak dahulu, sudah ada catatannya. Bahkan, rokok sudah ada sejak zaman Sultan Agung. Ini artinya produksi tembakau memang sudah ada. Perjalanannya sampai kini yang salah satunya membentuk tradisi kedaulatan nasional," ujar budayawan dan pengkaji filsafat, Irfan Afifi, Rabu (9/11/2022).

Baca Juga

Irfan mengatakan, tradisi kedaulatan terjadi karena sejak dulu tembakau dan produk turunannya seperti kretek merupakan hasil kebudayaan orisinal dari masyarakat Indonesia. Sebab, menurut dia, penanaman tembakau sejak dulu memang merupakan manifestasi dari manusia-manusia Indonesia sehingga menciptakan relasi kebudayaan yang sakral.

Irfan mencontohkan di beberapa wilayah, misalnya di daerah Temanggung, hingga kini masih terdapat beberapa ritual kebudayaan yang merepresentasikan penanaman tembakau sebagai sarana mendidik manusia penanamnya. Nilai-nilai itu yang tercermin dari para petani tembakau dan masih menjadi tradisi hingga kini.

Identitas tersebut turut diejawantahkan oleh sejumlah pahlawan-pahlawan nasional sekaligus pendiri bangsa seperti Soekarno dan Agus Salim. Mereka kerap menjadikan kretek sebagai alat diplomasi yang menegaskan posisi Indonesia sebagai negara merdeka dan berdaulat. 

Bahkan, Agus Salim pernah memamerkan kretek kepada Pangeran Philip menjelang penobatan mendiang Ratu Elizabeth sebagai pemegang tahta Britania Raya pada tahun 1953. "Makanya, tembakau juga menjadi bahan diplomasi yang menunjukan bahwa Indonesia memiliki produk yang berbeda dengan yang lain, ada kretek sendiri," kata Irfan.

Kendati demikian, Irfan mengakui dalam perjalanannya hingga kini identitas sekaligus tradisi kedaulatan dari tembakau memang mulai terkikis. Komodifikasi tembakau makin menguat. 

Bahkan, kedaulatan ekonomi dari tembakau tak dapat dilindungi akibat gencarnya intervensi-intervensi lembaga asing yang berupaya menghancurkan seluruh ekosistem atas nama nilai-nilai mulia. Imbasnya, petani tembakau makin terhimpit dan tertekan. Itu justru menciptakan gaya penjajahan baru.

Makin gencarnya kampanye-kampanye antitembakau yang didanai dan didorong oleh lembaga-lembaga internasional justru jadi rujukan bagi pemerintah yang tanpa disadari dapat mematikan petani-petani tembakau kecil. "Tembakau sudah teruji merupakan tanaman yang berguna dan memiliki nilai ekonomi tinggi. Ekosistem tembakau adalah salah satu kontributor ekonomi yang harapannya bisa menjadi salah satu sektor paling berdaulat dibandingkan sektor-sektor lainnya," kata dia.

Menyikapi hal itu, Irfan menyarankan agar pemerintah dapat terus dapat mempertahankan kedaulatannya pada level politik agar dapat menentukan kebijakan ekonomi dan kebudayaannya secara mandiri. Kedaulatan untuk komoditas yang menjadi mata pencaharian enam juta rakyat harus diutamakan.

"Sebab, tanpa kedaulatan, arah pertumbuhan negara dan masyarakat Indonesia akan selalu memiliki ketergantungan atas kepentingan-kepentingan yang bukan merupakan tujuan nasional," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement