Jumat 07 Oct 2022 11:17 WIB

Organisasi Masyarakat Sipil Tolak Perpres Peta Jalan Industri Hasil Tembakau

Seharusnya Pemerintah fokus menurunkan prevalensi perokok anak menjadi 8,7 persen

Rokok tembakau (ilustrasi). Sebanyak 15 organisasi masyarakat sipil  menyatakan menolak rencana pembuatan regulasi baru yakni Peraturan Presiden Peta Jalan Industri Hasil Tembakau (Perpres IHT).
Foto: Istimewa
Rokok tembakau (ilustrasi). Sebanyak 15 organisasi masyarakat sipil menyatakan menolak rencana pembuatan regulasi baru yakni Peraturan Presiden Peta Jalan Industri Hasil Tembakau (Perpres IHT).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hari Jumat (7/10/2022), 15 organisasi masyarakat sipil  menyatakan menolak rencana pembuatan regulasi baru yakni Peraturan Presiden Peta Jalan Industri Hasil Tembakau (Perpres IHT). Alasannya, Perpres tersebut dinilai bertentangan dengan regulasi yang sudah ada dan bertolak belakang dengan cita-cita negara dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakatnya.

Ke-15 organisasi antara lain terdiri dari Forum Warga Kota Indonesia (FAKTA), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Yayasan Lentera Anak (YLA), Komite Nasional Pengendalian Tembakau (Komnas PT), Indonesia Institute for Social Development (IISD), Yayasan Pusaka Indonesia (YPI) Medan, Yayasan Kepedulian Untuk Anak (KAKAK) Surakarta, Yayasan Galang Anak Semesta (GAGAS) Mataram, Yayasan Ruang Anak Dunia (Ruandu) Sumatera Barat, Muhammadiyah Tobacco Control Center Universitas Muhammadiyah Magelang (MTCC Unimma), Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), Center of Human & Economic Development Institut Teknologi & Bisnis Ahmad Dahlan (CHED ITB-AD), Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI), Tobacco Control Support Center Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC IAKMI) dan Indonesian Youth Council for Tobacco Control (IYCTC).

“Perpres IHT ini secara substansi sama saja dengan Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) tentang Peta Jalan Industri Hasil Tembakau (IHT) Tahun 2015-2020 yang sudah dicabut melalui Putusan Mahkamah Agung Nomor 16P/HUM/2016,” ujar Advokad Senior Forum Warga Kota Indonesia (FAKTA), Tubagus Haryo Karbiyanto.

Alasan pencabutan itu, menurut Tubagus, karena Permenperin tentang Peta Jalan IHT Tahun 2015-2020 dinilai bertentangan dengan peraturan yang ada, yaitu UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan UU Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai.

“Nah, rancangan Perpres Peta Jalan IHT ini menggunakan judul yang sebenarnya sudah dicabut sebelumnya oleh Mahkamah Agung, dan secara substansi sama saja dengan Permenperin tentang Peta Jalan IHT karena sama-sama fokus untuk meningkatkan produksi tembakau,” kata Tubagus.

Sebagaimana diketahui, dari sejumlah pemberitaan di media massa, saat ini Kemenko Perekonomian sedang merancang Perpres Peta Jalan Industri Hasil Tembakau (IHT). Dalam situs resmi Kemenko Perekonomian, dijelaskan mereka tengah menyusun Peta Jalan IHT yang bertujuan memberikan kepastian dan kejelasan arah kebijakan industri hasil tembakau, termasuk kenaikan tarif cukai tembakau, diversifikasi produk tembakau, dan peningkatan kinerja ekspor tembakau.

Ketua Lentera Anak, Lisda Sundari, menilai Pemerintah tidak sensitif menanggapi desakan masyarakat untuk melindungi anak dari adiksi rokok. Sejumlah fakta sudah membuktikan saat ini Indonesia berada dalam kondisi darurat perokok anak karena terus meningkatnya prevalensi perokok anak usia 10-18 tahun. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menunjukkan prevalensi merokok usia 10-18 tahun meningkat sebesar 1,9 persen, dari 7,2 persen pada 2013 menjadi 9,1 persen (2018).

“Seharusnya Pemerintah fokus menurunkan prevalensi perokok anak menjadi 8,7 persen sesuai amanat Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional atau RPJMN 2020-2024, bukannya justru giat melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan produksi dan konsumsi produk tembakau,” kata Lisda.

Sepakat dengan Lisda, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, menegaskan Pemerintah seharusnya fokus melanjutkan proses amandemen PP 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan, sebagai upaya Pemerintah melindungi masyarakat, khususnya anak-anak, dari bahaya rokok dan target pemasaran industri rokok.

“Bukannya malah membuat regulasi baru, dengan menggunakan judul yang sebenarnya sudah ditolak MA, dan secara substansi sama dengan Permenperin tentang Peta Jalan IHT yang sudah dicabut,” kata Tulus.

Karena itu, 15 organisasi masyarakat sipil yang mewakili organisasi kesehatan, organisasi perlindungan konsumen, organisasi perlindungan anak, lembaga kajian dan riset, serta organisasi/gerakan kaum muda, mendesak Pemerintah menghentikan proses penyelesaian Perpres Peta Jalan IHT yang hanya berpihak pada kepentingan bisnis, serta tidak memperhatikan dampak buruk konsumsi tembakau bagi masyarakat, terutama generasi muda.

“Tren global adalah menurunkan konsumsi rokok sehingga negara-negara di dunia membuat peta jalan untuk penurunan prevalensi perokok di negaranya dan bukan sebaliknya. Karena itu, kami mewakili 23 organisasi anggota dan mitra, menolak rencana Perpres Peta Jalan IHT dan mendesak Pemerintah untuk kembali fokus melanjutkan proses amandemen PP 109/2012,” tegas Prof Hasbullah Thabrany, Ketua Umum Komnas Pengendalian Tembakau.

“Merujuk pada pilar Pembangunan Indonesia Emas 2045 dengan pilar utama pembangunan manusia, maka peta jalan IHT ini telah menciderai visi Indonesia 2045. Dari sisi ekonomi pilar pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, maka pemerintah perlu mempertimbangkan dan mengevaluasi kembali Peta Jalan IHT. Alasan diversifikasi dan peningkatan kenaikan penerimaan cukai menjadi tumpang tindih dengan regulasi yang sudah ada pada Kementerian Keuangan,” ujar Roosita Meilani, Kepala Center of Human & Economic Development (CHED) Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement