Kamis 15 Sep 2022 16:54 WIB

Din Syamsuddin Ingatkan MK Soal Jubir yang Sebut Jokowi Bisa Cawapres di 2024

Pernyataan seorang jubir bisa dianggap mewakili lembaga MK.

Rep: Amri Amrullah/ Red: Agus raharjo
Ketua Majelis Penasehat Partai Pelita, Din Syamsuddin saat ditemui di lokasi deklarasi Partai Pelita, Slipi, Jakarta, Senin (28/2).
Foto: Republika/Febrianto Adi Saputro
Ketua Majelis Penasehat Partai Pelita, Din Syamsuddin saat ditemui di lokasi deklarasi Partai Pelita, Slipi, Jakarta, Senin (28/2).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum PP Muhammadiyah 2005-2015, M Din Syamsuddin mengkritisi sikap Mahkamah Konstitusi (MK) dan juru bicaranya Fajar Laksono menafsirkan Pasal 7 UUD 1945. Dalam penafsirannya, Fajar menyebut Presiden Joko Widodo bisa maju mencalonkan sebagai calon wakil presiden di Pemilu 2024.

Menurut Din, pernyataan Jubir MK itu mencerminkan sikap lembaga Mahkamah Konstitusi yang tendensius. Tidak hanya itu, ia menyebut jubir MK tersebut bahkan potensial dianggap melanggar konstitusi. Sebab, menafsirkan diluar putusan resmi Hakim Konstitusi.

Baca Juga

Din menilai pernyataan jubir MK itu bisa dianggap sebagai pernyataan lembaga Mahkamah Konstitusi. "Seorang jubir biasanya mewakili lembaga, dan tidak akan berani mengeluarkan pernyataan kecuali atas restu bahkan perintah Pimpinan MK. Kalau MK membantah maka harus ada sanksi tegas berupa pencopotan sang jubir yang telah melakukan pelanggaran, tidak hanya offside, tapi freekick," katanya, Kamis (15/9/2022).

Ketua Dewan Pertimbangan MUI 2015-2020 ini menilai pernyataan jubir MK itu, yang tidak atas pertanyaan atau permintaan seseorang atau lembaga/organisasi adalah tendensius. Dan hal itu, menurut Din, bisa membuat publik membenarkan kesimpulan dugaan bahwa MK selama ini tidak netral.

"Dugaan MK tidak imparsial, dan tidak menegakkan keadilan menyangkut isu Pemilu dan Pilpres, seperti yang ditunjukkannya pada keputusan tentang Presidential Threshold (ambang batas pencalonan Presiden-Wakil Presiden)," terangnya.

Jika ini benar maka, Din cukup menyayangkan, sebab ini merupakan malapetaka bagi Negara Indonesia yang berdasarkan hukum/konstitusi. Namun perisai terakhir penegakan hukum/konstitusi justeru berkecenderungan melanggar hukum atau konstitusi itu sendiri. "Maka, sudah waktunya rakyat mereview atau merevisi keberadaan MK dari perspektif UUD 1945 yang asli," imbuhnya.

Bila MK ingin menampik tuduhan itu, Din berharap memberi sanksi tegas terhadap Jubirnya. Dan tidak hanya itu, MK juga harus mengeluarkan pernyataan bahwa seorang Presiden hanya untuk dua masa jabatan berturut-turut, dan tidak boleh diberi peluang mencalonkan diri lagi walau sebagai wakil presiden.

"Jika ini diabaikan oleh MK, saya sebagai warga negara bersedia bergabung bersama rakyat cinta konstitusi melakukan aksi protes besar-besaran," imbuhnya.

Sikap yang sama ditunjukkan mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie juga mengkritik adanya tafsir yang tidak tepat terkait Pasal 7 UUD 1945. Tafsir itu terkait pencalonan Jokowi kembali sebagai calon wakil presiden di pemilu 2024, oleh Jubir MK Fajar Laksono.

Mantan ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu menegaskan Jubir MK tidak memiliki wewenang menafsirkan UUD 1945 Pasal 7 terkait pencalonan kembali presiden sebagai cawapres setelah menjabat dua periode. "Dari mana itu dasarnya, dia bicara itu. Dia itu Jubir yang justru merusak citra MK. Jadi saran saya staf di pengadilan, baik MA, MK maupun pengadilan di manapun jangan ikut-ikut bicara di depan publik yang tidak ada kewenangannya apalagi dalam persoalan materi perkara," kata Jimly.

Sebelumnya, Jubir MK Fajar Laksono menyebut Presiden Joko Widodo yang habis masa jabatannya pada Oktober 2024, masih memiliki peluang mencalonkan diri sebagai calon wakil presiden di 2024. Fajar menafsirkan Pasal 7 UUD 1945 sebagai tidak bisa mencalonkan lagi sebagai presiden tapi tidak di posisi wakil presiden.

Namun Jimly membantah tafsir tersebut. Jimly menjelaskan, di Pasal 7 UUD 1945, jabatan presiden dan wakil presiden itu satu kesatuan. Jadi, ia mengingatkan, membaca konstitusi itu level pertama, membaca harfiah atau leterlek (Letterlijk). Bunyi harfiahnya, presiden hanya boleh dua periode. Dan pada perubahan pertama di 1999 itu aturannya ketat sekali.

Jadi bunyinya, "Presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun. Dan sesungguhnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama 'hanya', untuk satu kali masa jabatan. Jadi hanya boleh untuk dua kali periode."

Dari situ, sebut Jimly, maka presiden dan wakil presiden itu satu paket. Karena itu di periode ketiga presiden dan wapres itu, mutlak tidak boleh maju lagi, mau dia sebagai capres atau mau sebagai cawapres, itu tetap tidak boleh. "Karena capres-cawapres itu satu paket," tegasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement