Selasa 13 Sep 2022 11:48 WIB

Soal Penolakan Kasasi Kasus KM50, Ini Kata LBH Pelita Umat

Penolakan dikhawatirkan jadi acuan penembakan berdalih 'pembelaan darurat'.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Agus Yulianto
Ketua LBH Pelita Umat  Chandra Purna Irawan.
Foto: dok. Istimewa
Ketua LBH Pelita Umat  Chandra Purna Irawan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) PELITA UMAT Chandra Purna Irawan menanggapi penolakan kasasi kasus unlawful killing oleh Mahkamah Agung (MA). Dia mengkhawatirkan, dampak dari putusan itu terhadap penegakkan hukum. 

Chandra menduga, putusan dalam kasus tersebut seolah bisa menjadi acuan ketika aparat ingin menembak seseorang. Nantinya, penembakan itu bisa dilegalkan dengan dalih membela diri secara darurat. 

Baca Juga

"Bahwa saya khawatir putusan Mahkamah Agung tersebut dijadikan legitimasi oleh siapapun tidak terkecuali aparat bersenjata untuk melakukan tindakan pembunuhan dengan alasan 'pembelaan darurat yang melampaui batas'," kata Chandra kepada Republika, Selasa (13/9/2022). 

Chandra menegaskan, terdapat batasan sangat jelas dalam penggunaan dalil “pembelaan darurat yang melampaui batas” atau noodweer exces. Dalil itu dapat dilakukan dengan syarat memenuhi unsur yaitu "Harus ada serangan dengan sekonyong-konyong atau pada ketika itu juga". Contohnya saat seorang pembegal tiba-tiba menyerang polisi dengan celurit atau senjata tajam, maka dalam kondisi darurat dapat memungkinkan untuk menembak. 

"Tapi, jika si pembegal telah tertangkap, maka polisi tersebut tidak boleh memukuli, menganiaya, menyiksa, dan menembak mati karena pada waktu itu sudah tidak ada serangan mendadak dari pihak pembegal," ujar Chandra. 

Chandra menyebut, dalam kasus KM50 apabila enam laskar FPI tersebut telah ditangkap dan meminta ampun, mestinya tak perlu ditembak. Apalagi misalnya, mereka tidak mengetahui yang mengejar adalah aparat, maka dalam situasi tersebut aparat dilarang melakukan tindakan pembelaan diri yang melampaui batas dengan menganiaya hingga menembak. 

"Kenapa? Karena unsur atau syarat serangan '...mengancam dengan sekonyong-konyong atau pada ketika itu juga' tidak terpenuhi, sehingga mestinya mengedepankan proses hukum terhadap santri tersebut seharusnya dapat diproses sebagaimana ketentuan pidana yang belaku," ujar Chandra. 

Chandra menegaskan, proses hukum tersebut merupakan cerminan dari asas praduga tak bersalah. Hal ini sekaligus memberikan kesempatan bagi pihak yang dituduh untuk melakukan pembelaan secara adil dan berimbang. 

"Saya khawatir vonis tersebut membuat masyarakat tidak percaya (distrust) terhadap hukum, dan khawatir menimbulkan pembangkangan publik," ungkap Chandra. 

Tercatat dalam kasus unlawfull killing terhadap enam anggota Laskar FPI pada 2020, dua terdakwa, anggota Resmob Polda Metro Jaya, dituntut 6 tahun penjara. JPU menggunakan Pasal 338 KUH Pidana, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana sebagai dasar sangkaan. 

Tetapi dalam putusan PN Jaksel, Jumat (18/3/2022), majelis hakim menyatakan, perbuatan Briptu Fikri Ramadhan, dan Ipda Yusmin Ohorella melakukan pembunuhan tersebut, atas dasar terpaksa dan pembelaan diri.

Sehingga, menurut hakim PN Jaksel, dua anggota Polda Metro Jaya tersebut tak bisa dijatuhi hukuman pidana. Atas putusan tersebut, hakim memerintahkan dua terdakwa itu dibebaskan. Putusan bebas itu diperkuat oleh penolakan kasasi JPU di MA. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement