REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali mengirimkan surat panggilan pemeriksaan terhadap mantan Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Agus Supriatna. Lembaga antirasuah ini akan meminta keterangan Agus terkait dugaan rasuah dalam pengadaan helikopter AugustaWestland (AW)-101.
"Kami segera kirimkan surat panggilan kedua untuk saksi dimaksud," kata Juru Bicara Bidang Penindakan KPK, Ali Fikri dalam keterangan tertulisnya, Senin (12/9/2022).
Meski demikian, Ali tidak merinci kapan surat panggilan itu dikirimkan. Dia hany berharap agar Agus dapat memenuhi panggilan penyidik KPK.
"Kami berharap saksi kooperatif hadir memenuhi panggilan KPK sebagai bentuk ketaatan pada hukum," ujar Ali.
Ali menuturkan, keterangan Agus dibutuhkan penyidik untuk mengusut kasus dugaan korupsi pengadaan helikopter AW-101. Dia menjelaskan, jika pihak Agus merasa tidak dapat memberikan informasi melalui panggilan pemeriksaan tersebut, maka dapat disampaikan kepada penyidik.
"Silakan nanti jelaskan di hadapan tim penyidik jika merasa tidak dapat diperiksa atau tidak sesuai ketentuan undang-undang," ujar dia.
Sebagai informasi, Agus seharusnya menjalani pemeriksaan sebagai saksi terkait dugaan korupsi pengadaan helikopter AW-101 pada Kamis (8/9/2022). Namun, purnawirawan TNI Angkatan Udara ini mangkir dari panggilan tersebut.
Adapun dalam kasus itu, KPK telah menetapkan Direktur PT Diratama Jaya Mandiri (DJM) dan pengendali PT Karsa Cipta Gemilang (KCG), Irfan Kurnia Saleh (IKS) sebagai tersangka. Irfan sudah ditahan KPK pada Selasa (24/5/2022) setelah ditetapkan sebagai tersangka pada Juni 2017.
Dalam konstruksi perkara tersebut, KPK menjelaskan pada Mei 2015, Irfan bersama Lorenzo Pariani (LP), salah satu pegawai perusahaan AgustaWestland, menemui Mohammad Syafei (MS) yang saat itu masih menjabat sebagai asisten Perencanaan dan Anggaran Kepala Staf TNI AU dengan pangkat marsekal muda TNI (bintang dua), di Markas Besar TNI AU di Cilangkap, Jakarta Timur.
Dalam pertemuan itu, terdapat pembahasan di antaranya terkait pengadaan helikopter AW-101 dengan konfigurasi VIP/VVIP TNI AU. Di lingkungan TNI AU, hanya ada satu skuadron udara yang memiliki armada konfigurasi VIP/VVIP, yaitu Skuadron Udara 17 VVIP, yang kemudian organnya dimekarkan menjadi Skuadron Udara 45 VVIP (khusus helikopter angkut kepresidenan).
"IKS, yang juga menjadi salah satu agen AW, diduga selanjutnya memberikan proposal harga pada MS dengan mencantumkan harga untuk satu unit helikopter AW-101 senilai 56,4 juta dolar AS, dimana harga pembelian yang disepakati IKS dengan pihak AW untuk satu unit helikopter AW-101 hanya senilai 39,3 juta dolar AS (ekuivalen dengan Rp 514,5 miliar)," kata Ketua KPK Firli Bahuri saat jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (24/5/2022).
Selanjutnya, sekitar November 2015, panitia pengadaan helikopter AW-101 VIP/VVIP TNI AU mengundang Irfan untuk hadir dalam tahap pra-kualifikasi, dengan menunjuk langsung PT DJM sebagai pemenang proyek. "Hal ini tertunda karena adanya arahan Pemerintah untuk menunda pengadaan ini karena pertimbangan kondisi ekonomi nasional yang belum mendukung," tambah Firli.
Pada 2016, pengadaan helikopter AW-101 VIP/VVIP TNI AU kembali dilanjutkan dengan nilai kontrak Rp 738,9 miliar dengan metode lelang pemilihan khusus, yang hanya diikuti dua perusahaan. Dalam tahapan lelang itu, KPK menduga panitia lelang tetap melibatkan dan mempercayakan Irfan dalam menghitung nilai harga perkiraan sendiri (HPS) kontrak pekerjaan.
Harga penawaran yang diajukan Irfan masih sama dengan harga penawaran pada 2015, yakni senilai 56,4 juta dolar AS, dan disetujui pejabat pembuat komitmen (PPK). Terkait persyaratan lelang yang hanya mengikutkan dua perusahaan, KPK menduga Irfan menyiapkan dan mengondisikan dua perusahaan miliknya mengikuti proses lelang dan disetujui PPK.
Akibat perbuatan tersangka Irfan itu, KPK menduga, kerugian keuangan negara mencapai sekitar Rp 224 miliar dari nilai kontrak Rp 738,9 miliar.