REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengaku masih menyelidiki terkait pengembangan kasus korupsi pengadaan bantuan sosial (bansos). KPK sudah berkoordinasi dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) soal kerugian negara dalam kasus itu.
Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata mengatakan, penghitungan kerugian negara membutuhkan proses yang panjang. "Kasus bansos ya sampai sejauh ini masih di dalam proses penyelidikan, ini utamanya kalau Pasal 2 Pasal 3 (Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi) kan menyangkut kerugian negara," kata Alexander di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (18/8/2022).
Menurut dia, prosesnya panjang karena kasus bansos melibatkan jutaan paket dan banyak perusahaan. Saat ini, kata dia, tim penyelidik juga masih mendalami apakah ada unsur perbuatan melawan hukum. Ia pun mengharapkan sebelum akhir tahun 2022 sudah ada kejelasan dalam pengembangan kasus bansos tersebut.
"Ini sedang di dalami juga oleh teman-teman di penyelidik, mudah-mudahan sebelum akhir tahun ini sudah ada kejelasan terkait dengan perkara bansos. Apakah sudah terjadi unsur perbuatan melawan hukum dan apakah sudah ada atau mengakibatkan kerugian negara kan seperti itu, ini semua masih di dalami," tuturnya.
Dalam penyelidikan kasus bansos tersebut, KPK sempat meminta keterangan mantan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara pada 6 Agustus 2021. Pelaksana Tugas (Plt) Juru Bicara KPK, Ali Fikri mengatakan, lembaganya berupaya mengembangkan kasus dugaan korupsi pengadaan bansos dengan meminta keterangan beberapa pihak terkait lainnya.
KPK mengungkapkan bahwa fakta-fakta yang muncul saat persidangan Juliari dapat dijadikan pintu masuk untuk mengusut keterlibatan pihak-pihak lain dalam kasus bansos.
Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada 23 Agustus 2021 telah memvonis Juliari dengan pidana penjara selama 12 tahun ditambah denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan. Bekas bendahara umum PDIP itu juga wajib membayar uang pengganti sejumlah Rp 14,5 miliar.
Selain itu, juga dicabut hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 4 tahun setelah selesai menjalani pidana pokok. Dalam perkara tersebut, Juliari selaku Menteri Sosial periode 2019-2024 dinyatakan terbukti menerima uang sebesar Rp 1,28 miliar dari Harry Van Sidabukke, sebesar Rp 1,95 miliar dari Ardian Iskandar Maddanatja, serta uang sebesar Rp 29,252 miliar dari beberapa penyedia barang lain sehingga totalnya mencapai Rp 32,482 miliar.
Tujuan pemberian suap itu adalah karena Juliari menunjuk PT Pertani (Persero) dan PT Mandala Hamonangan Sude yang diwakili Harry Van Sidabukke, PT Tigapilar Agro Utama yang diwakili Ardian Iskandar, serta beberapa penyedia barang lainnya menjadi penyedia dalam pengadaan bansos sembako. Uang suap itu diterima melalui perantaraan Matheus Joko Santoso yang saat itu menjadi pejabat pembuat komitmen (PPK) pengadaan bansos sembako periode April-Oktober 2020 dan Adi Wahyono selaku Kabiro Umum Kemensos sekaligus PPK pengadaan bansos sembako Covid-19 periode Oktober-Desember 2020.
Banyak pihak yang disebut terlibat dalam kasus itu, mulai dari elit politik hingga anggota parlemen. Namun, KPK sampai saat ini belum menetapkan tersangka baru dalam kasus itu.