Kamis 18 Aug 2022 14:51 WIB

LPSK Pertimbangkan Opsi Jemput Bola Lindungi Saksi Kasus Paniai

Saksi dan korban kasus Paniai bisa mengajukan permohonan perlindungan ke LPSK.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Agus raharjo
Wakil Ketua LPSK Maneger Nasution
Foto: Republika/ Musiron
Wakil Ketua LPSK Maneger Nasution

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) tengah mengkaji upaya mendatangi langsung para saksi yang akan memberi keterangan di sidang Pengadilan HAM berat Paniai. Kedatangan LPSK dalam rangka mengimbau mereka agar bersedia mengajukan permohonan sebagai terlindung.

Wakil Ketua LPSK Maneger Nasution mengatakan hingga saat ini belum ada pengajuan permohonan perlindungan dari saksi dan korban kasus Paniai. Padahal LPSK bergerak atas dasar kesukarelaan dari terlindung.

Baca Juga

"LPSK perlu sampaikan memang sampai sekarang betul belum ada rekomendasi atau permohonan dari (aparat) penegak hukum, termasuk dari Komnas HAM agar beri perlindungan ke saksi dan korban. Termasuk (permohonan) dari saksi dan korbannya," kata Maneger dalam webinar pada Kamis (18/8/2022).

Walau demikian, Maneger menegaskan lembaganya tetap menaruh perhatian terhadap sidang kasus Paniai. LPSK tengah mempertimbangkan penggunaan mekanisme lain guna melindungi saksi dan korban. Salah satunya, LPSK bisa berupaya jemput bola mendatangi mereka.

"Kita (pimpinan LPSK) diskusikan untuk terobosan yang bisa dilakukan. Misal ada mekanisme proaktif di pasal 29 ayat 2 memang dalam hal tertentu LPSK bisa beri perlindungan tanpa pengajuan permohonan," ujar Maneger.

Pasal 29 ayat 2 UU Nomor 31 tahun 2014 Tentang LPSK yang dimaksud Maneger berbunyi "Dalam hal tertentu LPSK dapat memberikan Perlindungan tanpa diajukan permohonan". Maneger mengatakan opsi yang memungkinkan yaitu tim LPSK menemui para saksi dan korban kasus Paniai di Papua.

Kemudian, LPSK membuka komunikasi dengan mereka agar bersedia mengajukan diri sebagai terlindung. "Dalam beberapa kasus pernah (proaktif). Kita tetap jemput bola tapi sodorkan formulir (ke saksi atau korban) karena basisnya kesukarelaan," ujar Maneger.

Selain itu, Maneger memastikan para saksi dan korban kasus Paniai memang bisa mengajukan permohonan perlindungan ke LPSK. Nantinya kewenangan LPSK meliputi meminta keterangan lisan atau tertulis dari pemohon atau pihak terkait permohonan, telaahan keterangan untuk mendapatkan kebenaran atas permohonan.

Kemudian LPSK bisa meminta salinan atau dokumen terkait yang dibutuhkan untuk memeriksa permohonan, meminta informasi kasus dari lembaga penegak hukum. Bahkan LPSK dapat mengubah identitas terlindung sesuai ketentuan perundangan.

"Syarat utama (terlindung LPSK) ada empat, apakah pemohon punya sifat penting keterangan dalam proses peradilan pidana, ada tingkat ancaman, catatan dari hasil analisis terhadap medis dan psikis, rekam jejak kejahatan yang pernah dilakukan pemohon," tegas Maneger.

Selanjutnya, pengajuan terlindung kepada LPSK bisa dilakukan oleh kuasa hukum, pendamping, penegak hukum, saksi atau korban sendiri, keluarga saksi atau korban. "Bentuk perlindungan bisa pemenuhan hak prosedural, LPSK wajib pastikan saksi dan korban di samping hadiri proses (sidang), didampingi agar bisa beri keterangan hingga terangnya peristiwa," ujar Maneger.

Dalam kasus pelanggaran HAM berat Paniai ini, penyidik pada Jampidsus, menetapkan IS sebagai tersangka tunggal, Jumat (1/4/2022). IS adalah anggota militer yang menjabat sebagai perwira penghubung saat peristiwa Paniai Berdarah terjadi 2014 lalu.

Tersangka IS dituding bertanggungjawab atas jatuhnya empat korban meninggal dunia, dan 21 orang lainnya luka-luka dalam peristiwa demonstrasi di Paniai. Mengacu rilis resmi, tim penyidik, menjerat IS dengan sangkaan Pasal 42 ayat (1) juncto Pasal 9 huruf a, juncto Pasal 7 huruf b UU 26/200 tentang Pengadilan HAM.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement