Jumat 12 Aug 2022 14:48 WIB

Demi Kesehatan, IDI Dukung Pelabelan BPA pada Kemasan Plastik

PB IDI mendukung upaya BPOM RI dalam kajian regulasi pelabelan BPA

Rep: Febryan A/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Air minum dalam kemasan (ilustrasi). Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) mendukung rencana Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) memberikan label kandungan Bisfenol A (BPA) pada air minum dalam kemasan (AMDK). Pelabelan itu diharapkan bisa meningkatkan upaya perlindungan kesehatan masyarakat.
Foto: Istimewa
Air minum dalam kemasan (ilustrasi). Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) mendukung rencana Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) memberikan label kandungan Bisfenol A (BPA) pada air minum dalam kemasan (AMDK). Pelabelan itu diharapkan bisa meningkatkan upaya perlindungan kesehatan masyarakat.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) mendukung rencana Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) memberikan label kandungan Bisfenol A (BPA) pada air minum dalam kemasan (AMDK). Pelabelan itu diharapkan bisa meningkatkan upaya perlindungan kesehatan masyarakat.

"PB IDI mendukung upaya BPOM RI dalam kajian regulasi pelabelan BPA pada kemasan plastik demi keamanan dan perlindungan kesehatan masyarakat," kata Sekretaris Jenderal PB IDI Ulul Albab dalam siaran persnya, Jumat (12/8).

IDI juga memberikan sejumlah rekomendasi kepada terkait persoalan ini. Pertama, pemerintah diminta untuk memberikan label terdapat BPA atau tidak pada semua kemasan makanan dan minuman. Kedua, produsen diminta membahas kandungan dan aturan pelabelan BPA kepada BPOM.

Ketiga, masyarakat diminta untuk memilih kemasan plastik yang bebas BPA, termasuk pada AMDK. Terakhir, hindari menggunakan, menyimpan, ataupun mencuci botol berkali-kali dalam suhu tinggi.

Untuk diketahui, BPA adalah senyawa kimia yang digunakan untuk membuat plastik polikarbonat. Plastik jenis ini sering digunakan untuk FCM (Food Contact Materials) seperti kemasan air galon, atau sebagai resin epoksi dalam lapisan pelindung kaleng untuk pangan atau minuman.

Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, sekitar 78 persen industri menggunakan plastik untuk makanan dan minuman kemasan. Sementara sekitar 16,5 persen sisanya digunakan untuk kemasan minuman berkarbonasi.

Menurut Ketua Bidang Kajian Penanggulangan Penyakit Tidak Menular PB IDI Agustina Puspitasari, migrasi partikel BPA ke dalam makanan atau minuman memiliki dampak risiko kesehatan bagi konsumennya. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa BPA mempengaruhi fisiologi, kelenjar prostat, serta perkembangan otak pada janin, bayi dan anak-anak.

"BPA juga mempengaruhi kesehatan dan perilaku anak. Penelitian lain juga menunjukan kemungkinan hubungan antara BPA dengan peningkatan tekanan darah, diabetes tipe 2 dan penyakit kardiovaskular," ujarnya.

Karena itu, banyak negara dunia yang telah membuat regulasi terkait BPA ini. Tahun 2008, Badan Pengawas Makanan dan Obat di Amerika Serikat (US-FDA) menetapkan batas konsentrasi asupan BPA. Sedangkan Kanada mengeluarkan larangan terbatas penggunaan BPA dan mengklasifikasikannya sebagai zat beracun.

Pada tahun 2011, Komisi Regulasi Uni Eropa mengeluarkan SML (Specific Migration Limit) dan melarang menggunakan BPA pada produk botol bayi dan anak-anak. Adapun Perancis melarang penggunaan BPA pada seluruh kemasan kontak pangan. Negara lain seperti Denmark, Austria, Swedia, dan Malaysia melarang penggunaan BPA pada kemasan kontak pangan untuk konsumen usia rentan 0-3 tahun.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement