REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keputusan pemangkasan wilayah kelola Perhutani sebanyak 1,1 juta hektare dari total 2,4 juta hektare menghadapi gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Gugatan itu teregister di PTUN Jakarta dengan nomor Perkara 275/G/2022/PTUN.JKT.
Para Penggugat yang tergabung dalam Aliansi Selamatkan Hutan Jawa meminta kepada Menteri Lingkungan Hidup (LHK) agar membatalkan Surat Keputusan Nomor SK.287/MENLHK/SETJEN/PLA.2/4/2022 tentang Penetapan Kawasan Hutan dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK) pada Sebagian Hutan Negara yang Berada pada Kawasan Hutan Produksi dan Hutan Lindung di Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Banten yang ditandatangani 5 April 2022 (SK 287/KHDPK).
Perwakilan salah satu penggugat, Mochamad Ikhsan menuturkan, hutan dan alam bukan warisan nenek moyang, tetapi titipan untuk anak cucu Indonesia. Dengan filosofi itulah, mereka menolak kebijakan KHDPK.
"Pengelolaan Hutan Jawa yang sudah baik, kami harap tetap dipertahankan agar tetap sustainable. Karena itu, kami mengambil keputusan untuk memperjuangkan hutan jawa dengan mengajukan gugatan di PTUN guna membatalkan SK 287/KHDPK, yang telah teregister di Kepaniteraan PTUN Jakarta tanggal 10 Agustus 2022,” ujar Ikhsan, dalam keterangan pers, Rabu (10/8/2022).
Ikhsan menambahkan, keberhasilan reboisasi hutan oleh Perhutani bahkan diakui sendiri Kementerian LHK hingga tutupan Hutan Jawa yang dikelola Perhutani hanya kalah dari Papua. Sedangkan dibandingkan hutan di luar Jawa lainnya, tutupan hutan Jawa jauh lebih baik. Selain itu, konflik sosial dan konflik lahan mulai terjadi di berbagai daerah sebagai imbas dari kebijakan KHDPK.
Indrayana Centre for Government, Constitution, and Society (INTEGRITY) Law Firm yang ditunjuk sebagai kuasa hukum Aliansi Selamatkan Hutan Jawa, menjelaskan, sebelum mengajukan gugatan, pihaknya telah mengajukan upaya administratif berupa keberatan kepada Menteri LHK dan Banding kepada Presiden Joko Widodo. Tetapi keduanya mendapatkan respons negatif.
Padahal, SK 287/KHDPK dinilai mengandung berbagai kecacatan serta ketidakabsahan dan seharusnya dibatalkan atau dinyatakan tidak sah. “Setelah kami kaji secara seksama, SK 287/KHDPK memang problematik dan multi cacat, yaitu cacat wewenang, cacat prosedur dan cacat substansi. Ketiga syarat tersebut sangat mendasar dan karena itu dapat digunakan sebagai alasan pembatalan sebuah Keputusan Tata Usaha Negara," ujar kuasa hukum Aliansi Selamatkan Hutan Jawa, Denny Indrayana.
Denny menjelaskan SK 287/KHDPK menabrak putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tentang UU Cipta Kerja, dimana salah satu amar putusannya menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja. Di samping itu, SK 287/KHDPK cacat prosedur karena diterbitkan tanpa sosialisasi, baik sebelum diterbitkan maupun pascaditerbitkan.
Padahal, MK sendiri menegaskan, sosialisasi harus dilakukan secara baik dan proper, yang dikenal sebagai meaningful participation dan bukan formalitas semata. SK 287/KHDPK juga dinilai bertentangan dengan berbagai Asas Umum Pemerintahan Yang Baik sebagaimana diatur dalam UU Administrasi Pemerintahan.
"Lalu, jika dilihat dari sisi substansi juga bermasalah karena diterbitkan pada wilayah kerja BUMN Kehutanan sehingga bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021. Selain itu, dari sisi prosedur juga bertentangan dengan UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,” ujar Muhamad Raziv Barokah selaku Senior Lawyer Integrity Law Firm.
Diketahui, Aliansi Selamatkan Hutan Jawa sebagai penggugat SK 287/KHDPK terdiri dari Serikat Karyawan Perum Perhutani (SEKAR PERHUTANI), Serikat Pekerja dan Pegawai Perhutani (SP2P), Serikat Rimbawan Perhutani (SERIMBA-PHT), Serikat Rimbawan Pembaharuan Perhutani (SERIMBA-PPHT), Perkumpulan Bina Karya Patria, Lembaga Masyarakat Desa Hutan Sinar Harapan Kaledong (LMDH SINAR HARAPAN KALEDONG), serta beberapa perwakilan pegawai Perhutani dan elemen masyarakat.