Ahad 04 Jun 2023 10:40 WIB

Diperkarakan, Denny Indrayana Siap Lawan Jika Kasus Bergeser ke Kriminalisasi Sikap Kritis

Denny Indrayana menjelaskan wacana semestinya dibantah dengan narasi pula.

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Erdy Nasrul
Denny Indrayana.
Foto: Republika.co.id
Denny Indrayana.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Pakar hukum tata negara, Denny Indrayana, bersuara setelah dirinya dilaporkan oleh sejumlah pihak ke Bareskrim Polri, imbas dari pernyataannya yang menyampaikan informasi mengenai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang sistem Pemilu.

Dalam keterangan rilis yang diunggah melalui akun Twitter-nya @dennyindrayana, Ahad (4/6/2023), Denny menyampaikan akan menghadapi proses hukum yang berjalan atas dirinya tersebut, dengan catatan proses ini tidak disalahgunakan untuk pembungkaman terhadapnya.

Baca Juga

"Akhirnya, saya akan menghadapi proses hukum yang sedang berjalan, dengan catatan proses itu tidak disalahgunakan untuk pembungkaman atas hak asasi kebebebasan berbicara dan berpendapat," ujar Denny.

Hal ini kata mantan wakil menteri hukum dan HAM (Wamenkumham) ini mengacu pada kasus yang terjadi pada Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti.

"(Namun) Jika prosesnya bergeser menjadi kriminalisasi kepada sikap kritis, maka saya akan menggunakan hak hukum saya untuk melakukan pembelaan melawan kedzaliman dan melawan hukum yang disalahgunakan," ujar Denny.

Denny juga menyampaikan sejumlah hal dalam rilis yang dia beri judul 'Memperjuangkan Demokrasi Rakyat Pemilih, Melawan Kriminalisasi'. Terlepas, hak setiap orang untuk melaporkan ke polisi, Denny berpendapat hak demikian mesti digunakan secara tepat dan bijak.

Menurut dia, persoalan wacana semestinya dibantah dengan narasi pula, bukan memasukkan tangan paksa negara, apalagi proses hukum pidana. Terlebih, pembicaraan terkait topik politik di waktu menjelang kontestasi.

"(Sebab) Pemilu 2024 sangat rentan dengan kriminalisasi kepada lawan politik, yaitu ketika instrumen hukum disalahgunakan untuk membungkam sikap kritis dan oposisi," ujar Denny.

Denny tidak membantah, informasi tentang putusan MK yang dia sampaikan melalui akun media sosialnya bagian upaya mengontrol putusan Mahkamah Konstitusi sebelum dibacakan. Karena, kata dia, putusan MK itu bersifat final dan mengikat, sehingga tidak ada upaya hukum apapun dan langsung mengikat begitu dibacakan di sidang yang terbuka untuk umum.

Menurut Denny, segala putusan yang telah dibacakan MK harus dihormati dan dilaksanakan dan tidak ada pilihan lain ataupun ruang koreksi.

Denny pun mengingatkan bagaimana putusan terbaru MK yang mengabulkan perpanjangan masa jabatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang membuat riuh publik.

"Masih segar dalam ingatan kita,bagaimana putusan MK terkait perpanjangan masa jabatan Pimpinan KPK, makin melumpuhkan kredibilitas KPK, karena memperpanjang pimpinan yang problematik secara etika. Putusan itu juga menguatkan ada agenda strategi Pilpres 2024 yang dititipkan kepada perpanjangan masa jabatan Firli Bahuri cs," ujarnya.

Karena itu, dia menilai penting dan strategis putusan terkait sistem Pemilu legisltif bagi kepentingan rakyat secara luas, Menurutnya, sistem Pemilu bukan hanya terkait partai dan bacaleg, namun juga yang paling penting, mempengaruhi kadar suara rakyat pemilih yang tidak lagi punya bobot menentukan jika MK memutuskan sistem proporsional dengan nomor urut (tertutup) menggantikan sistem nama dan suara terbanyak (terbuka).

Namun, dia menyadari tidak ada ruang koreksi setelah putusan MK dibacakan. Dia pun menilai perlunya pengawalan publik dan hanya mungkin dilakukan sebelum dibacakan.

Dia mengatakan, dengan mengungkap informasi kredibel bahwa MK berpotensi memutus sistem proporsional tertutup, maka akan mengundang khalayak luas untuk mencermati dan mengkritisi putusan yang akan dikeluarkan tersebut.

"Jangan sampai putusan telanjur ke luar dan membuat demokrasi kita kembali mundur ke sistem pemilu proporsional tertutup ala Orde Baru yang otoritarian dan koruptif," ujar dia.

Denny menilai saat ini belum cukup menyerahkan putusan pengadilan hanya pada proses ruang sidang semata. Apalagi, kata Denny, dengan sistem peradilan Indonesia yang masih belum ideal karena masih rentannya intervensi kuasa serta masih maraknya praktik mafia peradilan.

Sebab, argumentasi dan logika hukum semata, tidak jarang dikalahkan oleh kekuatan logistik kekuasaan dan praktik mafia peradilan.

"Menyerahkan putusan pengadilan hanya pada proses di ruang sidang saja, tidaklah cukup. Untuk memperjuangkan keadilan, harus ada kontrol melalui kampanye publik (public campaign) dan kampanye media (media campaign)," ujar Denny.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement