REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kejaksaan Agung (Kejakgung) memeriksa tiga mantan dan pejabat tinggi PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) dalam pengusutan dugaan korupsi pembangunan tower transmisi. Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejakgung, Ketut Sumedana mengatakan, mereka yang diperiksa adalah NS, SS, dan SIS.
“NS, SS, dan SIS, diperiksa sebagai saksi dalam penyidikan dugaan korupsi pembangunan tower transmisi di PT PLN,” kata Ketut dalam keterangan resmi, Selasa (2/8/2022).
Saksi NS, mengacu pada nama Nasri Sebayang, yang diperiksa selaku Direktur Regional Jawa Bagian Barat. Saksi SS, adalah Suaib Sakarian, yang diperiksa selaku mantan Kepala Divisi (Kadiv) Konstruksi Regional Jawa Bagian Barat. Terakhir adalah SIS, yakni Supangkat Iwan Santoso yang diperiksa selaku Direktur Pengadaan di PLN.
Kasus dugaan korupsi pembangunan tower transmisi PLN ini, diumumkan naik penyidikan oleh Jaksa Agung ST Burhanuddin pada Senin (25/7/2022). Sampai saat ini, belum ada tersangka dalam penyidikan kasus tersebut. Tapi di Jampidsus, sudah melakukan serangkaian pemeriksaan saksi-saksi dari pihak PT PLN, dan dari PT Power Indonesia, serta beberapa pihak swasta.
Tim penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), juga sudah melakukan penggeledahan di tiga tempat, di PT Bukaka, dan juga di rumah, serta apartemen tinggal inisial SH, petinggi di PT Bukaka.
Direktur Penyidikan Jampidsus, Supardi mengungkapkan, adanya dugaan mark-up atau penggelembungan harga barang, dalam proyek senilai Rp 2,25 triliun terkait pembangunan tower transmisi PLN 2016. Tak cuma itu, pihak penyedia tower transmisi, Asosiasi Pembangunan Tower Indonesia (Aspatindo), bersama-sama pejabat di internal PLN, melakukan dugaan tindak pidana korupsi lain, yang dinilai merugikan keuangan negara sepanjang 2016-2018.
“Kalau untuk mark-up-nya, dalam pembangunan towernya itu, kita sudah dapat. Tetapi, kasusnya ini, bukan cuma hanya terkait itu saja. Ada kualifikasi lainnya,” ujar Supardi, saat dihubungi, Ahad (31/7/2022).
Supardi menerangkan, salah-satu dugaan kerugian negara menyangkut kasus tersebut, terhentinya beberapa pembangunan tower transmisi yang sudah dibayarkan, namun tak sesuai dengan nilai kontrak yang sudah dibayarkan oleh PLN sebagai perusahaan negara. “Nilai proyeknya itu kan sekitar (Rp) 2,25 triliun itu. Ada yang sudah selesai. Tetapi, ada yang belum selesai dipasang,” kata Supardi.
Supardi menerangkan, proyek pembangunan tower transmisi PLN ini terjadi pada 2016. Dalam praktiknya, proses tender oleh PLN tersebut juga bermasalah karena menggunakan daftar penyedia barang yang terseleksi periode 2015.
Sementara pada saat tender tersebut dilakukan 2016, tak ada daftar penyedia terseleksi yang dilakukan oleh PLN sebagai pihak pengadaan. Kata Supardi, dalam pengadaan tersebut, menjadikan Aspatindo, sebagai penyedia barang dan kontraktor pembangunan tower transmisi.
“Aspatindo ini, terdiri dari 14 perusahaan. Pemimpinnya itu, dari pihak PT Bukaka. Jadi, kalau ada perusahaan yang ikut, masuknya dari Aspatindo ini,” kata Supardi.
Peran serta Aspatindo dan Bukaka ini, menurut Supardi, terjadi semacam monopoli dan penguasaan proyek yang dilakukan bersama-sama dengan PLN. Periode pertama, disepakati pembangunan 9.085 unit tower transmisi sepanjang Oktober 2016 sampai Oktober 2017. Namun begitu, dalam realisasinya, pembangunanya hanya 30 persen dari kontrak yang disepakati oleh PLN dan Aspatindo. Sementara pembayaran pengerjaan, sudah dilakukan senilai Rp 2,25 triliun.
Pihak Aspatindo, tetap melanjutkan pembangunan tower transmisi untuk merampungkan kontrak pertama, sepanjang November 2017 sampai Mei 2018. Akan tetapi, dalam kelanjutan pembangunan tersebut, sepihak karena pihak Aspatindo, disebut tak memiliki kontrak kerja lanjutan dari PLN. Hal tersebut mendesak PLN melakukan adendum bersama Aspatindo, dengan kontrak baru pembangunan sisa tower transmisi, yang belum terealisasi.
Akan tetapi, dalam adendum tersebut, terjadi penambahan jumlah pengerjaan, dari semula 9.085 tower transmisi, menjadi 10 ribu unit. Di dalam adendum tersebut, juga disebutkan adanya perpanjangan kontrak baru sampai Maret 2019. Namun sebelum realisasi perpanjangan kontrak dalam adendum pertama itu rampung, pihak PLN kembali menawarkan perubahan kerja sama pembangunan dengan memperbesar jumlah pemasangan tower transmisi sebanyak 13 ribu unit. Akan tetapi penambahan 3 ribu unit tower transmisi tersebut, tak rampung pengerjaannya.
“Ternyata dalam realisasinya, barangnya ada. Karena barangnya itu dari Aspatindo. Tetapi, tidak dikerjakan,” ujar Supardi.
Atas dasar tersebut, Jampidsus-Kejakgung menduga terjadi korupsi dalam tender sampai proyek pembangunan tower transmisi milik PLN tersebut. “Kalau soal mark-up-nya, kita sudah selesai. Yang sekarang kita lakukan penyidikan itu, terkait dengan kualifikasi korupsinya dalam Pasal 2, dan Pasal 3 itu,” terang Supardi.