Selasa 19 Jul 2022 01:37 WIB

Bawaslu Cegah Penyebaran Politik Identitas dan Isu SARA

Maraknya politik identitas dan isu SARA dinilai akibat belum tuntasnya toleransi

Rep: Mimi Kartika / Red: Andri Saubani
Anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Herwyn JH Malonda.
Foto: Dok Bawaslu
Anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Herwyn JH Malonda.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) berupaya mencegah penyebaran politik identitas dan isu mengenai suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) dalam Pemilu 2024. Anggota Bawaslu Herwyn JH Malonda mengatakan, maraknya politik identitas dan isu SARA akibat belum tuntasnya toleransi, ketimpangan sosial ekonomi, serta rekayasa elite politik.

"Salah satu alat ukur demokrasi berjalan dengan baik adalah terhindar dari penyelenggaran pemilu yang mengedepankan isu SARA dan politik identitas baik saat pemilu maupun pemilihan (pilkada) tahun 2024," ujar Herwyn dalam keterangan tertulisnya, Senin (18/7/2022).

Baca Juga

Dia menyebutkan, langkah antisipasi pertama yang dilakukan Bawaslu ialah menjalin kerja sama dengan platform media sosial serta kementerian dan lembaga negara terkait.  Kedua, melakukan pendekatan ke kelompok atau komunitas hingga paling bawah guna mencegah kampanye berbau isu SARA dan politik identitas.

Herwyn menjelaskan, Bawaslu akan melakukan penindakan terhadap kampanye bermuatan politik identitas. Bawasku akan menurunkan (take down) konten berbau politik identitas dari media sosial agar tidak menyebar. 

Bawaslu akan bekerja sama dengan platform media sosial seperti Facebook (Meta), Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), serta lainnya untuk mengantisipasi dan mengatur hal-hal yang berpotensi merusak sendi-sendi persaudaraan di media sosial. Bawaslu juga bekerja sama dengan Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Mabes Polri terkait dengan penindakan berita hoaks, berita palsu, atau berita yang bisa mencederai persaudaraan masyarakat Indonesia. 

Beberapa faktor alasan munculnya isu SARA, kata Herwyn, yakni faktor media sosial, pemahaman yang belum tuntas soal bagaimana menjaga toleransi dan eksistensi setiap identitas. Selain itu, terdapat ketimpangan sosial ekonomi, rekayasa elite politik, dan kecerobohan individu.

"Termasuk kecerobohan kita yang menyinggung psikologi di media sosial. Jika diperhatikan ada ucapan-ucapan dari kita yang teledor dan ceroboh, kemudian viral dan menjadi munculnya politik SARA," tutur Herwyn.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement