Kamis 14 Jul 2022 20:01 WIB

KPAI: Minimnya Sosialisasi Aturan PPDB Masih Dikeluhkan Masyarakat

KPAI sebut minimnya sosialisasi aturan PPDB masih dikeluhkan masyarakat.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Bilal Ramadhan
Komisioner KPAI, Retno Listyarti sebut minimnya sosialisasi aturan PPDB masih dikeluhkan masyarakat.
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Komisioner KPAI, Retno Listyarti sebut minimnya sosialisasi aturan PPDB masih dikeluhkan masyarakat.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menemukan masih minimnya sosialisasi terkait sejumlah aturan dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Untuk itu, KPAI meminta pemerintah pusat maupun daerah untuk meningkatkan sosialisasi aturan-aturan tersebut agar orang tua para calon peserta didik baru (CPDB) dapat mempersiapkan hal yang diperlukan lebih baik lagi.

"Minimnya sosialisasi ternyata masih dikeluhkan masyarakat. Sehingga banyak para orang tua CPDB yang memang juga mengadu ke KPAI karena tidak pahamnya aturan," jelas Komisioner KPAI, Retno Listyarti, dalam paparannya secara daring, Kamis (14/7/2022).

Baca Juga

Retno menyampaikan dua contoh peraturan PPDB yang diadukan ke KPAI. Pertama, terkait dengan ketentuan domisili kartu keluarga (KK) yang harus minimal satu tahun saat mendaftar.

Lalu peraturan berikutnya soal penggunaan usia pendaftar sebagai seleksi ketika jumlah pendaftar sudah melampaui kuota yang tersedia. Karena itu, dalam rekomendasinya KPAI mendorong pemerintah pusat dan daerah untuk meningkatkan sosialisasi terkait ketentuan-ketentuan tersebut.

"Tingkatkan sosialisasi terkait ketentuan domisili KK yang harus minimal satu tahun saat mendaftar PPDB karena masih banyak CPDB yang belum mengetahui aturan ini. Selain itu, (beri) penjelasan mengapa usia CPDB menjadi salah satu alat seleski ketika antara pendaftar melampaui kuota yang tersedia," kata dia.

Selain itu, terdapat beberapa rekomendasi lain yang KPAI berikan. Retno menuturkan, pihaknya mendorong agar diberlakukannya aturan khusus bagi CPDB yang mendaftar di sekolah menengah kejuruan (SMK).

Contoh aturan khusus itu, yakni seperti tidak buta warna dan minimal tinggi badan untuk jurusan tertentu yang memang mensyaratkan peserta didiknya tidak buta warna dan memiliki tinggi badan tertentu.

"Ternyata ketentuan ini harusnya memang diatur sebagai tambahan karena beberapa posko di SMK juga menyatakan, jadi masalah ini kalau kemudian beberapa jurusan yang mensyaratkan tertentu tadi ternyata yang diterima ada yang tidak memenuhi syarat karena tidak adanya pencantuman (aturan khusus) ini," jelas Retno.

Kemudian, KPAI juga mendorong pemerintah daerah agar melakukan pemetaan penyebaran sekolah negeri di wilayahnya dan mencari solusi bagi keadilan akses pendidikan anak-anak di wilayah yang tidak ada sekolah negerinya.

Hal itu dapat dilakukan dengan menerapkan kebijakan zonasi khusus, melibatkan sekolah swasta dalam PPDB bersama, atau membangun sekolah negeri baru di wilayah-wilayah blank spot tersebut.

Rekomendasi berikutnya, KPAI mendorong Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Itjen Kemendikbudristek) bekerja sama dengan Inspektorat Provinsi Banten dan Provinsi Jawa Barat untuk melakukan investigasi terhadap sejumlah pemberitaan yang menyatakan terjadi praktik jual beli kursi di jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) di kota Tangerang dan Tangerang Selatan serta Depok.

"Jumlah sekolah negeri di jenjang SMA dan SMK memang sangat sedikit dibandingkan jenjang SD dan SMP, sehingga banyak kecamatan dan Kelurahan di sejumlah daerah, termasuk Provinsi DKI Jakarta, tidak ada SMA/SMK negerinya. Sehingga potensi praktik jual beli kursi di sejumlah daerah diduga terjadi," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement