Rabu 05 Jul 2023 07:27 WIB

'Persoalan PPDB Cermin Tata Kelola yang Kurang Baik'

Sistem zonasi rentan menyebabkan manipulasi.

Sejumlah orang tua/wali murid melaksanakan aksi simbolik di depan Kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kota Malang, Jumat (23/6/2023). Kegiatan ini ditunjukkan untuk menyampaikan keluhan atas hasil PPDB tingkat SMP. 
Foto: Republika/Wilda Fizriyani 
Sejumlah orang tua/wali murid melaksanakan aksi simbolik di depan Kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kota Malang, Jumat (23/6/2023). Kegiatan ini ditunjukkan untuk menyampaikan keluhan atas hasil PPDB tingkat SMP. 

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Berbagai persoalan pada pelaksanaan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di berbagai daerah dinilai menjadi potret tata kelola yang kurang baik. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dinilai tidak konsisten dalam kebijakannya sehingga mengancam nasib para anak-anak didik.

"Orientasi kebijakan politik pendidikan kita amburadul. Kita tidak memiliki paradigma pendidikan yang holistik," ujar pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan, Muhammad Nur Rizal, kepada Republika, beberapa waktu lalu.

Baca Juga

Rizal mencontohkan jalur zonasi dan afirmasi yang digunakan pada PPDB tahun ini. Seperti diketahui, PPDB 2023 terdiri dari beberapa jalur yakni jalur zonasi, jalur afirmasi, jalur perpindahan tugas orang tua/wali, dan jalur prestasi.

Menurut Rizal, sistem zonasi menyebabkan para calon peserta didik yang tidak masuk zona wilayah tertentu tidak leluasa memilih sekolah. Hal itulah yang membuat terdapat banyak protes di berbagai daerah terkait sistem ini. "Kasihan mereka yang gak masuk ke zona tersebut gak bisa ke mana-mana," kata Rizal.

Selain itu, kata Rizal, sistem zonasi juga rentan menyebabkan manipulasi. Sudah terdapat contoh dalam beberapa tahun terakhir terjadi manipulasi Kartu Keluarga (KK) di mana siswa yang ingin mendaftar ke sekolah tertentu kemudian pindah alamat ke rumah kakek-neneknya atau saudaranya agar bisa masuk zona sekolah yang ingin dituju. 

 

Begitu juga sistem afirmasi yang penuh dengan persoalan tata kelola. Di Provinsi DKI Jakarta, sebagai contoh, terdapat praktik jual beli Kartu Jakarta Pintar (KJP). "Ini adalah contoh tata kelola yang tidak baik, yang ujung-ujungnya juga menyebabkan kualitas proses pendidikan juga tidak baik pula," ujar Rizal.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement