Senin 04 Jul 2022 20:13 WIB

'Rumah Sakit Butuh Rp 150 Miliar untuk Terapkan Kelas Standar'

BPJS Kesehatan mengaku besaran iuran peserta setelah KRIS belum ditentukan.

Rep: Febryan A/ Red: Agus raharjo
Direktur Utama (Dirut) BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti (kanan) berbincang dengan Ketua DJSN Tubagus Achmad Choesni (tengah) saat mengikuti Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi IX terkait dugaan kebocoran data peserta BPJS Kesehatan, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (25/5/2021). Dalam Rapat tersebut Ali Ghufron Mukti menyampaikan telah menyiapakan sejumlah langkah keamanan terkait kebocoran data peserta BPJS Kesehatan diantaranya melakukan penutupan sementara aplikasi yang beresiko dan menunda kerja sama yang terkait dengan pertukaran data untuk sementara waktu.
Foto: ANTARA/MUHAMMAD ADIMAJA
Direktur Utama (Dirut) BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti (kanan) berbincang dengan Ketua DJSN Tubagus Achmad Choesni (tengah) saat mengikuti Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi IX terkait dugaan kebocoran data peserta BPJS Kesehatan, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (25/5/2021). Dalam Rapat tersebut Ali Ghufron Mukti menyampaikan telah menyiapakan sejumlah langkah keamanan terkait kebocoran data peserta BPJS Kesehatan diantaranya melakukan penutupan sementara aplikasi yang beresiko dan menunda kerja sama yang terkait dengan pertukaran data untuk sementara waktu.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti mengatakan, pihak rumah sakit butuh dana Rp 150 miliar untuk bisa menerapkan layanan Kelas Standar Rawat Inap (KRIS) bagi peserta BPJS Kesehatan. Lantaran butuh dana besar, kebijakan ini akan diuji coba terlebih dahulu di lima rumah sakit vertikal.

Ali menjelaskan, pihaknya bersama Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) dan Kementerian Kesehatan sudah membuat 12 kriteria rumah sakit untuk penerapan KRIS. Meski kriteria itu masih bersifat sementara, tapi perkiraan dana yang dibutuhkan untuk memenuhinya terbilang besar.

Baca Juga

"Nah itu (untuk menerapkan kriteria KRIS), rumah sakit harus mengeluarkan uang sekitar Rp 150 miliar," kata Ali saat rapat kerja bersama Komisi IX DPR, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (4/7/2022).

"Rumah sakit tentunya, kalau mengeluarkan uang Rp 150 miliar, apakah sudah ada anggarannya, apalagi rumah sakit daerah," imbuhnya.

Karena butuh dana besar, kata Ali, pihaknya akan melakukan uji coba penerapan KRIS terlebih dahulu. Dalam bulan ini, KRIS akan diuji coba di lima rumah sakit (RS) vertikal. Yakni RSUP Kariadi Semarang, RSUP Dr Tadjuddin Chalid Makassar, RSUP Dr Johannes Leimena Ambon, RSUP Surakarta, dan RSUP Dr Rial Abdullah Palembang.

"Uji coba KRIS dilakukan agar kita mengetahui apakah KRIS ini dapat dimanfaatkan di rumah sakit, bagaimana dampaknya pada mutu layanan, penerimaan, ataupun kesiapan RS itu sendiri," ujarnya.

Ali menambahkan, saat ini pihaknya sedang mematangkan detail kebijakan KRIS ini. Sebab, masih terdapat ketentuan yang belum dibuat, termasuk soal besaran iuran peserta setelah KRIS diterapkan.

"Sampai sekarang kami masih bingung kalau ditanya (besaran iuran peserta). Mau Rp 70 ribu, Rp 75 ribu, atau Rp 50 ribu. Jangan sampai besaran iuran ini (untuk warga miskin) membebani Kementerian Keuangan," ujarnya.

Ketua Komisi IX DPR Felly Estelita Runtuwene mengingatkan, agar penerapan KRIS ini harus sempurna. Jangan sampai penerapan KRIS yang bertujuan meningkatkan pelayanan, tapi malah menyebabkan masalah.

"Seperti yang dikhawatirkan sejumlah anggota komisi tadi, jangan (penerapan KRIS ini) malah menambah penumpukan (pasien) karena ketidaksiapan ruang atau tempat tidur pasien," ujar Felly.

Dia juga meminta Kementerian Kesehatan, BPJS Kesehatan, dan DJSN untuk segara menyelesaikan semua konsep dan detail penerapan KRIS. Termasuk soal anggarannya. "Tadi Saudara Menteri Kesehatan (berkata) akan duduk bersama dengan Menteri Keuangan. Kami minta ini segera diatur," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement