REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bagi sebagian besar peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, alur rujukan berjenjang dari fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) ke rumah sakit sering kali dianggap sebagai prosedur yang rumit. Persepsi ini membuat banyak orang merasa terhambat untuk langsung mendapatkan penanganan dari dokter spesialis.
Namun, BPJS Kesehatan menegaskan mekanisme ini bukanlah untuk mempersulit, melainkan untuk memastikan bahwa layanan yang diberikan tepat sasaran, efisien, dan sesuai dengan kebutuhan medis. Mekanisme ini telah diatur secara rinci dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2024 tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perseorangan. Kepala Humas BPJS Kesehatan Rizzky Anugerah menjelaskan bahwa sistem ini dirancang untuk menciptakan pelayanan yang terstruktur dan terpadu.
Menurut Rizzky, FKTP yang mencakup puskesmas, klinik pratama, atau praktik dokter umum berperan sebagai garda terdepan. Mereka memiliki tugas krusial untuk melakukan pemeriksaan awal, mendiagnosis, dan mengobati penyakit yang dapat ditangani di tingkat dasar.
"FKTP juga bertugas memberikan edukasi dan mendorong promotif maupun preventif. FKTP harus menjadi pihak yang paling mengetahui riwayat kesehatan peserta karena mereka akses layanan kesehatan yang paling dekat dengan jangkauan peserta," ujar Rizzky di Jakarta pada Jumat (1/8/2025).
Rizzky juga menekankan pentingnya peran FKTP dalam menyeleksi kasus. Tanpa filterisasi di tingkat pertama, akan terjadi penumpukan pasien di rumah sakit. Menurut dia, rumah sakit memang memiliki sumber daya yang lebih lengkap. "Tapi kalau semua penyakit harus ditangani di rumah sakit, termasuk penyakit ringan yang sebetulnya bisa dilayani di FKTP, maka bisa terjadi penumpukan pasien," kata dia.
Penumpukan ini pada akhirnya akan membuat tenaga medis di rumah sakit, yang seharusnya fokus pada kasus berat, menjadi tidak bisa bekerja optimal. Pengecualian untuk prosedur rujukan ini hanya berlaku untuk kondisi gawat darurat, di mana pasien bisa langsung dibawa ke rumah sakit tanpa harus melalui FKTP.
Jika kondisi peserta membutuhkan penanganan yang lebih lanjut, barulah dokter di FKTP akan memberikan surat rujukan resmi ke rumah sakit. Proses ini, menurut Rizzky, dilakukan berdasarkan indikasi medis, bukan semata-mata atas permintaan peserta. Rujukan akan diberikan apabila peserta membutuhkan pelayanan spesialistik atau ketika FKTP tidak memiliki fasilitas, peralatan, atau tenaga medis yang memadai.
Rumah sakit sebagai Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL) juga memiliki klasifikasi berdasarkan kemampuan dan fasilitas yang dimiliki, yaitu kelas D, C, B, dan A. Rumah sakit kelas D umumnya memiliki layanan dasar dan terbatas, sementara kelas A adalah rujukan tertinggi dengan fasilitas dan tenaga medis terlengkap, termasuk dokter subspesialis. Dia mengatakan penempatan rujukan ke rumah sakit pun tidak dilakukan sembarangan, melainkan disesuaikan dengan kebutuhan medis peserta JKN, dan kompetensi dari masing-masing rumah sakit.
Jika diperlukan, pasien dapat dirujuk kembali ke rumah sakit tersier untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut oleh dokter subspesialis, yang menunjukkan betapa terstruktur dan terpadunya sistem ini. Tidak hanya rujukan vertikal, Rizzky juga menambahkan adanya mekanisme rujukan horizontal, yaitu antarfasilitas kesehatan dalam tingkatan yang sama.
Contohnya, sebuah rumah sakit dapat merujuk pasien ke rumah sakit lain yang memiliki kompetensi medis tertentu yang tidak dimiliki oleh rumah sakit perujuk. Untuk menunjang hal ini, BPJS Kesehatan telah mengembangkan sistem rujukan yang terintegrasi. "Dalam sistem ini, masing-masing (fasilitas) telah dipetakan dan diprofilkan berdasarkan kemampuan, sarana prasarana, dan jenis layanan yang tersedia," kata Rizzky. Bahkan, sarana pendukung seperti mobil ambulans untuk pengantaran pasien juga dijamin oleh Program JKN jika memang ada indikasi medis.