Jumat 01 Jul 2022 05:30 WIB

KontraS Ungkap Ratusan Peristiwa Kekerasan oleh Kepolisian

Pelanggaran didominasi oleh penggunaan senjata api sebanyak 456 kasus.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Agus Yulianto
Kordinator KontraS  Fatia Maulidiyanti memandang Kepolisian bersikap anti kritik yang ditunjukan dengan penghapusan mural, penangkapan pembentang poster dan pengejaran pembuat konten.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Kordinator KontraS Fatia Maulidiyanti memandang Kepolisian bersikap anti kritik yang ditunjukan dengan penghapusan mural, penangkapan pembentang poster dan pengejaran pembuat konten.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatatkan ratusan kejadian kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian dalam kurun waktu setahun belakangan. Catatan ini dinilai KontraS menjadi noktah hitam bagi semangat mewujudkan anggota Kepolisian agar lebih humanis. 

Koordinator Kontras Fatia Maulidiyanti mengatakan, catatan ini disusun berdasarkan data pemantauan dan advokasi sebagai partisipasi masyarakat sipil dalam mewujudkan reformasi sektor keamanan. Laporan ini juga dibuat sebagai bentuk dorongan serius terhadap perbaikan kinerja institusi Kepolisian dalam kerangka agenda Reformasi Polri.

"Dalam periode Juli 2021-Juni 2022, kami mencatat setidaknya telah terjadi 677 peristiwa kekerasan oleh pihak kepolisian," kata Fatia di Jakarta, Kamis (30/6). 

Dalam catatan KontraS, 677 peristiwa kekerasan itu telah menimbulkan 928 korban luka-luka, 59 korban tewas dan 1.240 ditangkap. "Pelanggaran didominasi oleh penggunaan senjata api sebanyak 456 kasus," lanjut Fatia. 

KontraS menilai aksi kekerasan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor. Yaitu penggunaan kekuatan yang cenderung berlebihan dan tak terukur, ruang penggunaan diskresi yang terlalu luas oleh aparat, dan enggannya petugas di lapangan untuk tunduk pada Perkap No. 1 Tahun 2008.

"Dalam setahun terakhir, Kepolisian juga seringkali memusatkan kekuatannya untuk berhadap-hadapan dengan aksi penyampaian ekspresi masyarakat. Cara-cara represif paling sering ditemukan dalam penanganan demonstrasi dan kriminalisasi terhadap Pembela HAM," ujar Fatia.

Selain itu, KontraS memandang Kepolisian bersikap anti kritik yang ditunjukan dengan penghapusan mural, penangkapan pembentang poster dan pengejaran pembuat konten. Hal ini menurut KontraS pada akhirnya menguatkan fenomena penyempitan ruang sipil dengan Polisi sebagai aktor pendorong utama. 

"Sayangnya, tindakan dan langkah tegas nampak tak terlihat ketika Kepolisian berhadap-hadapan dengan pelanggar hak minoritas. Kepolisian begitu abai dan nampak tak berkutik dalam menghadirkan hak atas rasa aman bagi kelompok marginal. Sikap populisme Kepolisian yang berakibat tebang pilih di lapangan dalam memberikan perlindungan juga menjadi penyebab utama," tegas Fatia. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement