REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Deputi Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) Partai Demokrat, Kamhar Lakumani, menunjukan sejumlah perbedaan antara Partai Demokrat dan PDIP saat keduanya menjalankan pemerintah. Di bawah pemerintahan PDIP, Kamhar melihat rakyat justru mengeluhkan berbagai persoalan dan kesulitan seperti langka dan mahalnya sembako, kenaikan BBM, kenaikan tarif dasar listrik, dan berbagai kebutuhan hidup lainnya.
"Pajak dinaikkin di kala daya beli masyarakat belum sepenuhnya pulih setelah terpukul akibat pandemi Covid-19. Katanya partai wong cilik, nyatanya rakyat semakin dicekik," kata Kamhar kepada wartawan, Kamis (23/6/2022).
Sebaliknya, Kamhar menuturkan berdasarkan aspirasi di lapangan rakyat justru semakin merindukan kepemimpinan SBY yang gemar memberikan program pro rakyat dan berbagai paket bantuan sosial untuk meringankan beban rakyat. Rakyat juga merindukan kehidupan yang senantiasa harmonis, rukun dan damai tanpa ada politisasi dan eksploitasi isu SARA.
"Rakyat merindukan penegakan hukum yang berkeadilan tanpa pandang bulu, rakyat merindukan pemberantasan korupsi yang sepenuh hati dan tak tebang pilih," tuturnya.
Kamhar juga merespons pernyataan Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP Hasto Kristiyanto yang menyebut partainya sulit berkoalisi dengan Partai Demokrat lantaran aspek historis. Ia pun menyinggung soal pameo dalam politik yang menyebut tak ada kawan dan lawan yang abadi, melainkan kepentingan.
"Pak SBY sering juga menyebutkannya sebagai satu musuh terlalu banyak, 1000 kawan belum cukup. Ini antara lain yang menjadi fatsun politik Partai Demokrat dalam membangun hubungan dan komunikasi politik dengan partai politik lainnya," ujarnya.
Kamhar mengatakan, hal tersebut ditegaskan kembali oleh Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), pada malam Silaturahmi dan Kontemplasi Partai Demokrat yang digelar beberapa waktu lalu. AHY mengatakan Partai Demokrat terbuka dan tak memiliki hambatan dan beban masa lalu untuk membangun kerjasama politik dengan parpol lainnya.
Kamhar kembali mengkritisi PDIP yang kerap menyebut dirinya sebagai partai wong cilik. Alih-alih menyebut partai wong cilik, namun kenyataannya justru merampok dan memakan jatah rakyat kecil yang sedang kesusahan diterpa bencana.
"Berkebalikan dengan Partai Demokrat yang gemar memberi subsidi dan bansos pada rakyat sebagai kompensasi kebijakan. Jika Pak SBY mengangkat 1,1 juta orang tenaga honorer menjadi pegawai negeri sipil, pemerintah yang sekarang malah mau memecat honorer dan menjadikan mereka pengangguran," ucapnya.