REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Fenomena banyaknya akademisi Indonesia yang secara sadar dan terus menerus menyuarakan dukungan terhadap invasi yang dilakukan Rusia terhadap negara merdeka Ukraina terjadi akibat mentalitas kolonial.
Mentalitas kolonial adalah sikap inferioritas etnis atau budaya yang terinternalisasi yang dirasakan oleh masyarakat sebagai akibat dari penjajahan. Hal ini sesuai dengan keyakinan bahwa nilai-nilai budaya penjajah secara inheren lebih unggul daripada nilai-nilainya sendiri.
“Para akademisi pembela agresi Rusia ke Ukraina itu mewakili masyarakat Indonesia yang lebih besar. Mereka ini di masa revolusi kemerdekaan kerap diledek sebagai Londo Ireng. Mereka individu yang bukan Belanda (Londo) karena Ireng [hitam) tapi gemar berpikir dan membebek penjajahnya,” ujar pengamat Komunikasi Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sahid Algooth Putranto dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu (18/6).
Algooth mengatakan fenomena mentalitas kolonial telah digunakan oleh para sarjana beraliran Kiri seperti Frantz Fanon dan Antonio Gramsci untuk membahas efek transgenerasional dari kolonialisme yang ada di bekas koloni setelah dekolonisasi atau memerdekakan diri.
Dalam psikologi, kata Algooth, mentalitas kolonial digunakan untuk menjelaskan contoh depresi kolektif, kecemasan, dan masalah kesehatan mental lainnya yang tersebar luas pada populasi yang telah mengalami penjajahan.
Pada dasarnya, kolonialisme boleh dikatakan sebagai sebuah kekuatan otokratis yang diberikan oleh negara-negara kuat pada negara-negara yang lebih lemah. Kolonial memasuki wilayah-wilayah baru, mereka selalu berusaha mendominasi masyarakat dengan budaya, perdagangan dan kekuatan militer.
“Paling gampang sampai sekarang orang Indonesia kerap menganggap orang asing lebih superior. Apa-apa kalau asing dicitrakan lebih bagus. Oleh Bung Karno dan Bung Hatta, mentalitas kolonial ini dilawan dengan tegas. Bahkan Jokowi menggelorakan Revolusi Mental,” tutur Algooth.
Mentalitas kolonial yang menjangkiti akademisi pembela Rusia ini menurut Algooth semakin mengkhawatirkan karena terdapat indikasi nyata ketimpangan intelektualitas dan moralitas yang menjadi inti dari ilmu pengetahuan sehingga menyingkirkan kesadaran terhadap universalisme hak asasi manusia.
Algooth menjelaskan universalisme HAM merupakan pernyataan dan tuntutan terhadap pengakuan bahwa hak-hak manusia yang asasi adalah bagian kodrati pada setiap pribadi manusia, tak peduli apapun warna kulitnya, jenis kelaminnya, usia, latar belakang kultural, agama atau spiritualitasnya.
Nilai-nilai universalisme HAM masuk ke dalam hasil konferensi San Fransisco yang berhasil merumuskan United Nations Charter atau Piagam PBB yang ditandatangani 26 Oktober 1945 menjadi dasar bagi banyak negara untuk memerdekakan diri dari penjajahan.
“Anak sekolah dasar pun paham bagaimana para pendiri bangsa kita secara khusus menempatkan universalisme HAM di dalam pembukaan UUD 1945 yang menyatakan kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan,” kata Algooth.