Senin 06 Jun 2022 14:40 WIB

'Outsourcing Adalah Kebijakan Cuci Tangan Pemerintah'

PHK2I menilai pemerintah menganggap keberadaan 410.010 tenaga honorer beban.

Rep: Febryan A/ Red: Agus raharjo
Seorang tenaga honorer bekerja di bagian hubungan masyarakat kantor Wali Kota Lhokseumawe, Aceh, Rabu (24/11/2021). Pemerintah Kota Lhokseumawe memutuskan kontrak 2.753 Tenaga Harian Lepas (THL) atau honorer kategori Grade C untuk menekan pembiayaan gaji THL Rp9,9 miliar per tahunnya menyusul semakin berkurangnya jumlah pemberian Dana Alokasi Umum (DAU) dari pemerintah pusat yang berdampak pada keuangan daerah.
Foto: Antara/Rahmad
Seorang tenaga honorer bekerja di bagian hubungan masyarakat kantor Wali Kota Lhokseumawe, Aceh, Rabu (24/11/2021). Pemerintah Kota Lhokseumawe memutuskan kontrak 2.753 Tenaga Harian Lepas (THL) atau honorer kategori Grade C untuk menekan pembiayaan gaji THL Rp9,9 miliar per tahunnya menyusul semakin berkurangnya jumlah pemberian Dana Alokasi Umum (DAU) dari pemerintah pusat yang berdampak pada keuangan daerah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perkumpulan Honorer K2 Indonesia (PHK2I) menyatakan, kebijakan rekrutmen pegawai instansi dengan skema alih daya (outsourcing) merupakan cara pemerintah cuci tangan atas keberadaan ratusan ribu pekerja honorer. Adapun status tenaga honorer akan dihapus per November 2023.

Ketua Umum PHK2I Sahirudin Anto mengatakan, pemerintah menganggap keberadaan 410.010 Tenaga Honorer Kategori II (THK-II) sebagai beban. Menurutnya, tak ada kebijakan pengangkatan bagi mereka meski sudah mengabdi belasan hingga puluhan tahun.

Baca Juga

Pemerintah hanya mendorong THK-II untuk ikut seleksi CPNS dan PPPK jelang November 2023. Bagi THK-II yang tidak bisa ikut tes karena terbentur persyaratan usia maupun yang tidak lolos seleksi, maka pemerintah menyediakan jalur outsourcing untuk tetap bisa bekerja di instansi pemerintahan.

"Kebijakan outsourcing ini lebih tidak masuk akal. Ini kan artinya berurusan dengan swasta yang merupakan pihak ketiga sebagai perusahaan outsourcing-nya," kata Udin kepada Republika.co.id, Senin (6/6/2022).

Menurut Udin, kebijakan outsourcing ini adalah cara pemerintah cuci tangan atas keberadaan ratusan ribu THK-II seperti dirinya. "Seolah-olah pemerintah itu berkata, 'Saya sudah serahkan kalian ke pihak ketiga, selebihnya pihak ketiga yang mengurus kalian. Mau dipecat, mau dipekerjakan, ya itu urusan pihak ketiga'," katanya.

Udin menilai, kebijakan rekrutmen dengan skema outsourcing ini tidak adil dan tidak manusiawi bagi THK-II. "Kami sudah mengabdi selama belasan hingga puluhan tahun, tapi malah menjadi outsourcing. Ini suatu ketidakadilan," ujarnya.

Terkait kebijakan penghapusan tenaga honorer pada 2023 ini, Udin akan mengadukannya ke Komisi II DPR. Dia berharap pemerintah mengangkat THK-II menjadi PNS terlebih dahulu sebelum kebijakan penghapusan dieksekusi.

Sebelumnya, 31 Mei 2022, Menpan RB Tjahjo Kumolo menyurati Pejabat Pembina Kepegawaian di semua instansi pemerintah untuk menentukan status pegawai honorer alias non-ASN (non-PNS, non-PPPK, dan eks-Tenaga Honorer Kategori II), hingga batas waktu 28 November 2023. Status tenaga honorer akan dihapus pada batas waktu tersebut.

Menjelang November 2023, Tjahjo mendorong para tenaga honorer yang memenuhi syarat untuk mengikuti seleksi CPNS dan PPPK tahun 2022 dan 2023. Bagi honorer yang tak memenuhi syarat ataupun yang tidak lolos seleksi, mereka masih berpeluang untuk bekerja di instansi pemerintahan dengan skema outsourcing.

Tjahjo menyebut, kebijakan menghapus tenaga honorer dan menggantinya menjadi pekerja outsourcing adalah cara meningkatkan kesejahteraan pegawai. Sebab, pegawai honorer selama ini kerap mendapat gaji di bawah upah minimum regional (UMR).

"Untuk mengatur bahwa honorer harus sesuai kebutuhan dan penghasilan layak sesuai UMR, maka model pengangkatannya melalui outsourcing," kata politisi PDIP itu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement