Kamis 21 Apr 2022 07:14 WIB

Desakan untuk Kejaksaan Agung: Jangan Berhenti di Empat Tersangka

Sejak awal, ICW sudah mencurigai Dirjen Kemendag yang kini berstatus tersangka.

Jaksa Agung ST Burhanuddin memberikan keterangan saat penetapan tersangka mafia minyak goreng di Gedung Kejagung, Jakarta, Selasa (19/4/2022). Kejaksaan Agung menetapkan empat tersangka dugaan permufakatan antara pemohon dengan pemberi izin dalam proses penerbitan persetujuan ekspor minyak goreng yakni Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) RI Indasari Wisnu Wardhana, Senior Manager Corporate Affairs PT Permata Hijau Group, Stanley MA, General Manager PT Musim Mas, Togar Sitanggang dan Komisaris Wilmar Nabati Indonesia Parlindungan, Tumanggor.
Foto: ANTARA/Puspen Kejagung
Jaksa Agung ST Burhanuddin memberikan keterangan saat penetapan tersangka mafia minyak goreng di Gedung Kejagung, Jakarta, Selasa (19/4/2022). Kejaksaan Agung menetapkan empat tersangka dugaan permufakatan antara pemohon dengan pemberi izin dalam proses penerbitan persetujuan ekspor minyak goreng yakni Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) RI Indasari Wisnu Wardhana, Senior Manager Corporate Affairs PT Permata Hijau Group, Stanley MA, General Manager PT Musim Mas, Togar Sitanggang dan Komisaris Wilmar Nabati Indonesia Parlindungan, Tumanggor.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Amri Amrullah, Bambang Noroyono, Deddy Darmawan Nasution

Skandal korupsi dan mafia terkait minyak goreng yang dibongkar Kejaksaan Agung (Kejagung), telah menyeret pejabat di Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan pihak perusahaan sawit swasta. Namun tak cukup sampai di situ, Indonesia Corruption Watch (ICW) meminta, Kejagung bisa membongkar aktor penting pemain dan mafia crude palm oil (CPO) atau minyak goreng di Indonesia.

Baca Juga

Koordinator ICW Divisi Pelayanan Publik dan Reformaai Birokrasi, Almas Ghaliya Putri Sjafrina berharap pengungkapan korupsi dan mafia minyak goreng, oleh Kejagung tidak hanya berhenti pada Dirjen Daglu Kemendag Indrasari Wisnu Wardhana bersama tiga individu pimpinan korporasi CPO besar dari PT Wilmar Nabati Indonesia, Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas saja. Sebab mereka bisa jadi hanya salah satu sebab tidak efektifnya domestic market obligation (DMO) dan harga eceran tertinggi (HET).

"Dalam kasus ini, Kejagung perlu menelusuri dugaan keterlibatan korporasi dan aktor lain lain, khususnya pejabat di Kemendag," kata Almas kepada wartawan, Rabu (20/4/2022)

Ia menjelaskan, korporasi adalah pihak yang akan diuntungkan apabila persetujuan ekspor dikeluarkan tanpa persyaratan dalam kebijakan DMO dan domestic price obligation (DPO). Satu sisi, kebijakan DMO jadi jurus paksa pemerintah ke eksportir dahulukan kebutuhan dalam negeri jika ingin mendapat persetujuan ekspor. Di sisi lain angka 20 persen yang tanpa pengawasan, membuka terjadinya suap dan korupsi.

"Apalagi kebijakan tersebut juga tak disertai sanksi yang signifikan, misalnya dikaitkan dengan Hak Guna Usaha (HGU) sawit. Hal tersebut mengingat pelaku usaha sawit dan pengolahan CPO terbesar saling terintegrasi dengan produsen minyak goreng," jelasnya.

Sejak awal, menurut ICW, pihaknya telah mencurigai peran kotor Dirjen Daglu Kemendag Indrasari Wisnu Wardhana yang kini telah jadi tersangka oleh Kejagung. Sebab, selain sebagai pejabat strategis di Kemendag, ia juga masuk dalam jajaran dewan pengawas Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).

Apalagi, dalam pemaparan ICW sebelumnya, nama Indrasari Wisnu Wardhana telah beberapa kali disebut dalam sejumlah kasus korupsi. Seperti pada kasus suap pengurusan kuota dan izin bawang putih pada 2019 dan pada kasus dugaan suap kuota impor ikan di Perum Perindo pada tahun yang sama.

"Melihat rekam jejaknya yang sudah bermasalah Menteri Perdagangan, M. Lutfi, seharusnya tidak mempercayakan jabatan Dirjen Daglu yang sangat strategis, khususnya di tengah polemik minyak goreng kepadanya," ungkap Almas.

Jika dilihat dari profilnya, ketiga perusahaan yang terlibat dalam kasus penerbitan perizinan ekspor, terkait komoditas CPO yang tidak memenuhi persyaratan. Mereka ini merupakan pelaku-pelaku besar industri sawit dan produsen minyak goreng.

Perusahaan tersebut merupakan perusahaan yang juga banyak menyalurkan minyak sawit untuk biodiesel. Karena itu mereka mendapat insentif triliunan rupiah dari dana pungutan ekspor sawit yang dikelola oleh BPDPKS di masa Indrasari Wisnu Wardhani menjadi anggota dewan pengawasnya.

Sejak 2015, kesembilan perusahaan yang diduga terafiliasi dengan tiga grup perusahaan tersebut, mendapatkan insentif BPDPKS lebih dari Rp 66,4 triliun. Nominal tersebut setara 60 persen dari total insentif BPDPKS untuk 27 perusahaan tahun 2015-2021.

Dapat dikatakan, ketiga perusahaan yang tersangkut kasus korupsi PE CPO tersebut langganan mendapat dana dari negara sejak 2015. Ironisnya, mereka tak mendukung kebijakan Kemendag dengan mengajukan permohonan PE tanpa memenuhi syarat distribusi domestik 20 persen.

"Lebih ironis lagi, korupsi Dirjen Daglu Kemendag ini dilakukan di tengah jeritan kesulitan publik dengan ekonomi menengah ke bawah yang bergantung pada minyak goreng sawit curah dan kemasan," kata Almas.

Karena itu, ICW mendesak Kejagung menelusuri keterlibatan korporasi dan pejabat lain yang potensial turut terlibat, khususnya di Kemendag. ICW juga meminta Presiden Jokowi mengevaluasi kinerja Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi yang belum tuntas menangani problem minyak goreng.

"Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) segera menuntaskan penyelidikan atas dugaan kartel dan mafia minyak goreng," imbuhnya.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement